Hujan pernah sedang begitu derasnya, ketika aku berdebar lugu membaca pesan yang dikirimkan lelaki yang kuceritakan di sini ke ponselku. Secara otomatis, bibirku melengkung ke atas, karena aku telah menantinya sejak lama. Dia menanyakan kesediaanku untuk menemuinya di hari itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung saja mengiyakan.
Sore itu, dia adalah televisi–yang mata dan telingaku tak ingin sedetik pun mengalihkan fokus. Dia akan selalu menyampaikan prolog, ada berita baik apa yang terjadi belakangan ini? Lalu, kami akan mengungkit semua hal; baik itu yang menyenangkan maupun yang tidak, hingga kami lupa kalau waktu bisa habis juga.
Lalu, bagian yang aku hafal sekali adalah dia selalu menyeruput kopinya pelan-pelan dan sedikit-sedikit. Entah, barangkali itu memang ritual minum kopinya. Dan, beginilah aku, ketika telah senang bersama seseorang, otakku akan begitu saja merekam gerak-geriknya. Tapi, begitulah dia, tidak pernah tahu atau mungkin (pura-pura) tak menyadari perhatianku.
Sore itu, aku resmi menjadi teman-ngopi-sambil-curhatnya. Di sebuah kedai kopi yang baru pertama kali kukunjungi, sore menjelang malam, dan habis hujan. Sungguh, aku sama sekali tidak keberatan jika memang hanya dianggap sekadar itu. Aku telah cukup bahagia–dia pernah bersedia mencuri waktuku yang tak seberapa ini, untuk kemudian digantikan dengan kebahagiaan yang tak dapat aku hitung.
Karena… aku pernah menulis begini; sesekali pergilah melihat ombak, dan kamu akan paham–rasanya mengejar seseorang, tapi sekeras apa pun kamu berusaha, dia tak bisa digapai.
Dan sore itu, aku telah dibuat paham, bahwa dia adalah ombak itu–
yang sekeras apa pun aku mengejarnya, dia tak akan pernah bisa tergapai.
by: @cindyjoviand
#poetry #photography #phosphenous
Source
fangirl can related ㅠㅠ
@zahrafirdaaa gua bgt ga zah anj
why sangat relatable:(
😍
Kerad ya:((
@ardinityaahu_
@thomasarichonanda
DAMN GURL🙌🏻💯💯💯
😍😍😍