5.1 REGIONAL
5.1.1 Geometri Cekungan
Cekungan Pendalian merupakan salah satu cekungan di kawasan barat Indonesia. Merupakan cekungan busur dalam (Paleogene – Neogene Intra Arc Basin), berada pada koordinat 98,50° - 100,75° BT dan 0,90° - 0° LU (Gambar 5.1).
Geometri cekungan ini memanjang dengan arah baratlaut-tenggara. Sebelah utara dibatasi oleh Cekungan Sumatera Tengah, disebelah selatan dan barat dibatasi oleh Perbukitan Barisan. Luas total cekungan adalah 2.531 km2 dengan keseluruhan wilayah cekungan berada pada daratan. Anomali gaya berat (Gambar 5.2) kurang membantu untuk mendeliniasi batas cekungan, akan tetapi data isopach dan singkapan batuan dasar di permukaan memberikan batas yang jelas untuk cekungan ini.
Gambar 5.1 Lokasi Cekungan Pendalian.
Gambar 5.2 Peta anomali gaya berat regional di Pendalian.Cekungan
Sedimen Tersier di Cekungan Pendalian diendapkan di atas batuan dasar yang berumur Pra-Tersier dengan ketebalan sedimen mencapai 1.000 m dibatasi oleh tinggian Perbukitan Barisan (Gambar 5.3), Cekungan Pendalian menjadi cekungan dengan pelamparan sedimen terbatas.
Gambar 5.3 Peta isopach dan distribusi lokasi sumur Cekungan Pendalian
5.2 TEKTONIK DAN STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL
Periode Deformasi F0 (Pra-Tersier)
Deformasi F0 terjadi pada Pra-Tersier menghasilkan struktur-struktur berarah N600W ± 100 yang terkontrol oleh geometri dan batas mandala-mandala geologi yang menyusun batuan dasar (Pulunggono dan Cameron, 1984). Mandala-mandala geologi tersebut mengalami akresi pada akhir Trias (Pulunggono dan Cameron, 1984). Arah struktur yang berkembang pada F0 dicerminkan oleh sumbu tinggian dan rendahan zona sesar dan lipatan batuan dasar (Gambar 5.4).
Gambar 5.4 Sebaran jalur sutura atau Komplek Mutus di Cekungan Sumatera Tengah dan sekitarnya (Pulunggono dan Cameron, 1984).
Periode Deformasi F1 (45 – 28 Ma)
Deformasi F1 yang terjadi pada Eosen – Oligosen mengawali perkembangan kerangka tektonik Tersier. Tahap ini sering disebut fase ekstensi, dengan ciri struktur ekstensi berupa rifting yang berkembang sepanjang rekahan batuan dasar yang membentuk graben dan half graben. Heidrick dan Aulia (1993) membagi tiga pola struktur yang berkembang pada tahap F1 yaitu utara - selatan, utaratimurlaut - selatanbaratdaya dan baratlaut - tenggara. Pola utara-selatan merupakan pola yang paling dominan. Tegasan horizontal minimum yang berkembang pada periode ini berarah barat - timur.
Periode Deformasi F2 (28 – 13Ma)
Episode F2 diawali oleh berhentinya proses pemekaran dilanjutkan dengan sagging dan fase transtensional. Fase transtensional merupakan periode perkembangan sesar mendatar menganan pada elemen-elemen struktur berarah utara - selatan yang terbentuk pada fase F1. Pada beberapa tempat, elemen utara - selatan tersusun dalam pola en-echelon dengan arah stepover menganan dan mengiri. Deformasi yang terjadi pada elemen utara-selatan ini berupa simple shear dengan arah tegasan utama sekunder N470E (Heidrick dkk., 1993).
Pergerakan mendatar menganan pada elemen stepover menganan menghasilkan pola struktur transtensional berarah jurus N00E - N200E dan elemen stepover mengiri menghasilkan pola struktur transpresional dengan jurus N00W - N200W. Penampang seismik memperlihatkan bahwa struktur transtensional dan transpressional dicirikan oleh sesar normal, sesar naik dan lipatan berhubungan dengan flower structure negatif dan positif.
Periode Deformasi F3 (13 Ma – Resen)
Fase F2 diikuti oleh F3 pada Miosen Tengah sampai saat ini dan menghasilkan deformasi berupa sesar naik berarah baratbaratdaya - timurtimurlaut, sesar naik di sepanjang sesar mendatar sebelumnya berarah utarabaratlaut, lenturan yang membentuk monoklin ke arah selatanbaratdaya di sepanjang rekahan batuan dasar berarah N390E ± 3.50 (Mount dan Suppe, 1992 dalam Heidrick dan Aulia, 1993). Lipatan yang terbentuk pada F3 umumnya berarah sumbu N150 - 250W, hampir sejajar dengan restraining bend sesar-sesar mendatar utama yang berarah utara - selatan (Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Kedudukan dan sifat pola tegasan yang mempengaruhi deformasi di Sumatera secara umum dan di Sumatera Tengah khususnya.
5.3 STRATIGRAFI REGIONAL
Mengacu pada kajian regional, pengendapan batuan Tersier di Cekungan Sumatera Tengah diawali oleh pengendapan sedimen non-marin Grup Pematang dalam cekungan yang berarah utara-selatan yang terbentuk akibat rifting pada Eosen – Oligosen (Yarmanto dan Aulia, 1988). Grup Pematang tersusun oleh tiga formasi berturut-turut dari tua ke muda: Formasi Lower Red Beds, Formasi Brown Shale dan Formasi Upper Red Beds (Heidrick dkk., 1996). Formasi Lower Red Beds disusun oleh fanglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, mudstone, dan serpih yang terbentuk pada lingkungan kipas alluvial, fluvio-deltaik, sampai danau. Di atas Formasi Lower Red Beds diendapkan Formasi Brown Shale yang tersusun oleh serpih lakustrin kaya kandungan bahan organik berselingan dengan batupasir halus. Selanjutnya di atas Formasi Brown Shale diendapkan Formasi Upper Red Beds yang tersusun oleh serpih, mudstone, batupasir, konglomerat dan batubara. Di atas Grup Pematang diendapkan suatu seri endapan transgresif yang termasuk ke dalam Grup Sihapas yang berkembang pada Kala Miosen Awal. Grup Sihapas terdiri atas Fomasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap, Formasi Duri dan Formasi Telisa. Formasi Menggala disusun oleh sedimen batupasir konglomerat dan batupasir kasar sampai halus yang diendapkan pada lingkungan fluvio-deltaik (Heidrick dan Aulia, 1993).
Secara selaras di atas Formasi Menggala diendapkan Formasi Bangko yang tersusun oleh serpih gampingan dan batugamping pada lingkungan intertidal (Heidrick dan Aulia, 1993) yang di beberapa tempat di bagian timur dan utara Cekungan Sumatera Tengah berkembang sebagai batulanau dan batupasir yang diendapkan pada lingkungan estuarin. Selanjutnya diendapkan Formasi Bekasap yang dicirikan oleh perselingan batupasir, batulanau dan serpih serta sisipan gampingan dan batubara. Formasi Bekasap berkembang pada lingkungan tide dominated delta sampai perairan payau. Di atas Formasi Bekasap diendapkan Formasi Duri pada lingkungan delta. Formasi Duri tersusun oleh perselingan batupasir halus sampai sedang dan serpih. Selanjutnya diendapkan Formasi Telisa yang tersusun oleh perselingan batulanau dan serpih yang diendapkan pada lingkungan neritik luar.
Pada bagian barat Cekungan Sumatera Tengah Formasi Telisa menjari dengan Formasi Duri. Selanjutnya di atas Grup Pematang diendapkan Grup Petani pada Kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir. Heidrick dkk (1996) membagi Grup Petani menjadi Petani Bawah, Petani Tengah dan Petani Atas berdasarkan keberadaan penanda regional lignit Petani A dan batugamping Petani B. secara umum Grup Petani terdiri dari serpih, batulempung, batulanau, batupasir dan lignit. Di atas Grup Petani diendapkan Formasi Minas pada Kala Plistosen sebagai endapan kipas aluvial (resume stratigrafi Cekungan Sumatera Tengah pada Gambar 5.6).
Gambar 5.6 Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah (dimodifikasi dari Heidrick dan Aulia, 1996).
5.4 SISTEM PETROLEUM
5.4.1 Batuan Induk
Akumulasi minyak Cekungan Sumatera Tengah bersumber dari serpih lakustrin Formasi Pematang/Kelesa. Unit batuan induk ini terletak pada graben-graben yang berarah utara - selatan. Distribusi batuan induk sangat tergantung kepada morfologi struktur, asupan sedimen, posisinya terhadap graben, dan variasi fasies lakustrinnya.
Tipe kerogen utama dari cekungan ini berupa tipe I dan II dengan total kandungan karbon organik tinggi. Meskipun batuan induk yang paling baik berasosiasi dengan endapan lakustrin dalam dengan energi rendah hadir juga fasies lain berupa endapan lakustrin dangkal. Batuan induk lainnya hadir pada Formasi Telisa dan Grup Sihapas dan endapan laut marjinal dari Grup Petani. Unit-unit ini lebih cenderung menghasilkan gas. Keberadaan dan kemenerusan graben-graben Paleogen memegang peranan penting terhadap keberadaan batuan induk di cekungan ini.
5.4.2 Pembentukan Hidrokarbon dan Kematangan
Dengan analog Cekungan Sumatera Tengah, Cekungan Pendalian adalah cekungan yang paling tinggi gradien geotermalnya di Indonesia sekitar 4.68°F/100 kaki, sedangkan gradien geotermal rata-rata untuk Sumatera adalah 3.6°F/100 kaki. Secara umum, gradien hidrotermal yang paling tinggi terletak pada tinggian-tinggian horst dan yang paling rendah ada pada graben. Tinggian-tinggian struktur dibentuk pada peristiwa tektonik temuda (Plio-Plistosen) dan mengindikasikan bahwa tingginya gradien hidrotermal yang ada berkaitan dengan tektonik inversi yang terjadi pada hampir semua bagian di Sumatera. Berdasarkan hubungan yang fundamental antara suhu, kedalaman dan ketebalan sedimen, diasumsikan bahwa graben-graben yang ada lebih dingin dibandingkan dengan struktur yang lebih muda.
Lima juta tahun terakhir menjadi fase penting dalam penempatan hidrokarbon pada perangkapnya sementara pembentukan dan akumulasinya telah terjadi sejak 26 juta tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Kedalaman yang ideal untuk pembentukan hidrokarbon pada graben-graben yang ada adalah sekitar 1.371,6 – 2.133,6 m. Pembentukan hidrokarbon berada dalam kisaran harga reflektansi vitrinit 0,55% - 0,64% untuk kerogen tipe I. Berdasarkan hasil-hasil analisis geokimia seperti TOC, pirolosis Rock-Eval, dan analisis reflektansi vitrinit dari serbuk pemboran dan inti bor sidewall yang diambil dari tujuh sumur mengindikasikan hampir semua formasi yang ada memiliki tingkat kematangan dari belum matang hingga mulai matang.
5.4.3 Reservoir
Reservoir ada pada Grup Sihapas dan Petani, batuan dasar yang terekahkan dan basement wash juga hadir khususnya pada batuan dasar yang diatasnya terdapat seri batuan dengan rekahan yang intensif. Kualitas reservoir yang sangat baik hadir pada Grup Sihapas yang terdiri dari Formasi Tualang, Formasi Lakat, dan Formasi Duri. Reservoir di Formasi Lakat paling baik ditemui pada daerah sayap graben Paleogen dan jarang sekali hadir pada tinggian batuan dasar atau struktur-struktur yang terbentuk awal, hal ini memungkinkan hadirnya perangkap stratigrafi di cekungan ini.
Formasi Tualang tersebar hampir di seluruh daerah Cekungan Sumatera Tengah yang menjadikannya sebagai reservoir utama. Unit ini diendapkan pada lingkungan delta hingga channel pasang surut dan endapan laut marjinal yang berasosiasi dengan sistem delta besar yang terbentuk dari bagian paling timur Paparan Sunda ke arah barat menuju cekungan ini.
Reservoir dari batuan sedimen klastik juga terdapat pada Grup Sihapas, Formasi Telisa. Walaupun didominasi oleh serpih dan batulempung terdapatnya batupasir yang diendapkan dalam lingkungan laut berpotensi untuk menjadi reservoir dengan perangkap stratigrafi. Keterdapatan foraminifera yang banyak, pengisian pori-pori oleh lempung, dan porositas Batupasir Telisa yang berlapis banyak sangat menentukan resistivitas total, porositas, dan bacaan log sinar gamma. Grup Petani Bawah/Formasi Binio terbukti menjadi reservoir untuk akumulasi gas biogenik, belum ada produksi yang ditemukan pada interval ini, akan tetapi Cekungan Sumatera Utara dan Sumatera Selatan menghasilkan minyak pada interval ini.
5.4.4 Batuan Penyekat
Batuan penyekat yang umum terdapat di cekungan ini berupa serpih yang berada dalam formasi itu sendiri (intraformasi). Belum ada bukti dari rembesan minyak dan gas di cekungan ini yang mengindikasikan adanya kebocoran dari batuan penyekat. Kompetensi batuan penyekat juga dapat dipertimbangkan dari sejumlah blow-out yang terjadi di area.
5.4.5 Migrasi
Cekungan ini dikarakterisasikan oleh tingginya gradien aliran bahang disertai dengan tingkat kematangan yang dicapai pada fase struktur terakhir. Migrasi dari deposenter secara primer dikontrol oleh morfologi struktur dan waktu.
Deformasi yang berumur muda menyebabkan struktur-struktur tua yang ada termiringkan dan hidrokarbon termigrasi kembali menuju perangkap yang lebih muda. Migrasi hidrokarbon di Cekungan Sumatera Tengah dan Pendalian selama ini disimpulkan dikontrol oleh gaya struktur sesar mendatar. Keseluruhan konfigurasi struktur yang ada pada graben-graben tua menjadi jalur-jalur utama migrasi primer maupun sekunder.
5.1 KONSEP PLAY REGIONAL
Terdapat tiga konsep play regional yang secara konvensional terbukti di Cekungan Sumatera Tengah dikenali di Formasi Lakat, Tualang, Telisa, dan Binio berdasarkan kehadiran lapangan produksi (Gambar 5.7). Tutupannya berupa tutupan empat arah, tutupan yang terikat dengan sesar dan perangkap stratigrafi. Untuk play yang lebih dalam, perangkap struktur memegang peranan yang lebih penting karena lebih dekat dengan posisi graben-graben nya sementara perangkap stratigrafi hanya hadir setempat-setempat sebagai lensa, membaji dan sikuen on-lapping yang terkait batas sikuen khususnya pada sikuen syn-rift sedimen Paleogen. Pada sikuen post rift (sedimen Neogen) anomali amplitudo yang kuat bisa mengindikasikan kehadiran gas.
Gambar 5.7 Tipe play regional yang terbukti menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatera Tengah (Laporan internal).
DAFTAR PUSTAKA
Daly M.C., Cooper, M.A., Wilson J., Smith, D.G., Hooper, B.G.D., 1991, Cenozoic Plate Tectonics and Basin Evolution in Indonesia; Marine and Petroleum Geology.
Davis, G., Reynolds, S. J., 1996, Structural Geology of Rocks and Regions, John Willey and Sons Inc., New York.
de Coster, G.G., 1974, The Geology of the Central and South Sumatera Basins, Indonesian Pet. Assoc., 3rd Annual Convention Proceedings.
Eubank, R.T., Makki, A.C., 1981, Structural Geology of the Central Sumatera Back-arc Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention Proceeding.
Hall, R. & Blundell, D., 1996, Reconstructing Cenozoic SE Asia, (eds.) Tectonic Evolution of Southeast Asia, Geological Society of London Special Publication 106, 153-184.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region, U.S. Geological Survey Professional Paper, No. 1078, 345p.
Heidrick, T.L., Aulia, K., 1993, A Structural and Tectonic Model of the Coastal Plains Block, Central Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 22nd Annual Convention Proceedings.
Kingston, D.R., C.P. Dishroon, dan P.A. Williams, 1983, Global Basin Classification System: AAPG Bulletin, vol. 67, hal. 2175 – 2193.
Koning, T., Darmono, F.X., 1984, The Geology of The Beruk Northeast Field, Central Sumatera, Oil Production from Pre-Tertiary Basement Rock, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention Proceeding.
LEMIGAS, 2006, Kuantifikasi Sumberdaya Hidrokarbon, Volume I, Cekungan Sumatera Tengah; LEMIGAS, Jakarta, hal.4-1– 4-11.
Mertosono, S., Nayoan, G.A.S., 1974, The Tertiary Basin Area of Central Sumatera, Indonesian Pet. Assoc., 3th Annual Convention Proceeding.
Metcalfe, I., 1988. Origin and Assembly of Southeast Asian Continental Terranes. In: M.G. Audley-Charles & A. Hallam (eds), Gondwana and Thetys, Geological Society of London, Special Publication 37, 101-118.
PERTAMINA dan BPPKA, 1996, Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods and Application, Vol II: Central Sumatera Basins.
PERTAMINA dan BEICIP FRANLAB, 1992, Global Geodynamics, Basin Classification and Exploration Play-types in Indonesia, Volume I, South Sumatera Basin; PERTAMINA, Jakarta, hal.25 – 39.
Tapponnier, P., Peltzer, G., Armijo, R., 1986, On the Mechanics of the Collision between Indian and Asia, Geological Society of London, Special Publication.