Resume Hukum Penitensier



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pengertian
Penyelesaian perkara pidana dapat dibedakan menjadi tiga tahapan, yaitu pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan serta prapenuntutan); pemeriksaan sidang pengadilan (penuntutan dan penjatuhan putusan Hakim) dan pelaksanaan putusan (pelaksanaan hukuman) dan pengawasan putusan pengadilan (pelaksanaan pengawasan hukuman).
Pertama, pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan terhadap orang-orang yang terkait dengan perkara pidana, yaitu pemeriksaan terhadap tersangka, saksi, dan ahli. Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, baik penyelidikan maupun penyidikan termasuk penyidikan tambah atas dasar petunjuk-petunjuk dari penuntut umum (prapenuntutan) bagi penyempurnaan hasil penyidikan serta penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penghentian penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum.
Kedua, pemeriksaan sidang pengadilan adalah pemeriksaan terhadap orang-orang yang terkait dengan perkara pidana, yaitu pemeriksaan terhadap terdakwa, saksi, dan ahli. Pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan oleh Hakim dan diakhiri dengan penjatuhan sanksi pidana (putusan hakim). Pemeriksaan sidang pengadilan (terhadap tindak pidana umum sifatnya) terbuka untuk umum, kecuali pemeriksaan terhadap tindak pidana kesusilaan bersifat tertutup, seperti perzinahan (Pasal 284 KUHP) dan perkosaan (Pasal 285 KUHP).
Ketiga, pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan (putusan Hakim). Pelaksanaan putusan pengadilan adalah pelaksanaan hukuman (eksekusi) yang dilakukan Jaksa dan pelaksanaanya dilakukan terhadap terpidana; sedang pengawasan putusan pengadilan adalah pengawasan pelaksanaan hukuman, seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Dari jenis-jenis pidana tersebut, maka pelaksanaan pidana penjara dilakukan di dalam Lembaga Permasyarakatan (Lapas) serta pengawasannya dilakukan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat (Hakim Wasmat).
Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan pada tahap penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Lembaga Kepolisian (Kepolisian Resort) serta pra penuntutan dan penuntutan dilakukan Lembaga Kejaksaan (Kejaksaan Negeri). Sedangkan pemeriksaan di pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama (Hakim Pengadilan Negeri) yang diakhiri penjatuhan sanksi pidana oleh hakim (putusan Hakim).
Apabila terdakwa, Penasehat Hukum, Penuntut Umum telah menerima putusan hakim pengadilan tingkat pertama (Hakim Pengadilan Negeri), putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Putusan hakim tersebut segera dieksekusi Jaksa dan terpidana harus menjalani hukuman sesuai pidana yang dijatuhkan. Sebaliknya, apabila terdakwa, penasehat hukum, penuntut umum tidak menerima putusan Hakim Pengadilan tingkat pertama (Hakim Pengadilan Negeri) putusan tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap (in Kracth van gewijsde).
Putusan Hakim tersebut belum dapat dieksekusi Jaksa dan terpidana belum menjalani hukumannya. Hal ini disebabkan, karena terdakwa, penasehat hukum, Penuntut Umum melakukan upaya Hukum, baik upaya hukum biasa (gewone rechtmiddelen), yaitu perlawanan (verzet), banding, dan kasasi; dan upaya hukum luar biasa (buiten gewone rechtmiddelen), seperti kasasi demi kepentingan hukum (cassatie in het belang van der wet) maupun peninjauan kembali (herziening).
Upaya hukum perlawanan (verzet) pemeriksaannnya dilakukan pengadilan tingkat pertama (pengadilan Negeri) dan upaya hukum banding, pemeriksaannya dilakukan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi). Sedangkan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali pemeriksaannya dilakukan pengadilan tingkat Kasasi maupun peninjauan kembali (Mahkamah Agung). Selama terdakwa melakukan upaya hukum(belum menerima putusan hakim), maka terdakwa tetap berada dalam tahanan. Apabila terdakwa, penasehat hukum, atau penuntut umum telah menerima putusan hakim, barulah putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga dapat dieksekusi oleh jaksa dan terdakwa harus menjalani hukuman yang dijatuhkan Hakim.



B.     Ruang Lingkup dan Objek Studi
Adapun ruang lingkup Mata Kuliah Hukum Penitensier adalah pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 270 sampai Pasal 276 KUHAP. Putusan pengadilan adalah putusan yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku kejahatan ataupun pelanggaran yang pelaksanaannya dilakukan oleh Jaksa (Kejaksaan Negeri) setelah putusan pengadilan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu apabila terdakwa atau penasehat hukum dan Jaksa telah menerima putusan pengadilan tersebut.
Putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Sedangkan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan hakim adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan beberapa barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.
Adapun objek studi mata kuliah Hukum Penitensier ini tentang penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan maupun pelanggaran serta pelaksanaan pidana atas sanksi pidana yang telah dijatuhkan pengadilan berupa putusan hakim. Kejahatan yang diancam hukuman berat, yaitu tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahanan, seperti tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun atau lebih; atau tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Sedangkan pelanggaran adalah tindak pidana yang pelakunya tidak dapat dikenakan penahanan, dan diancam pidana denda atau pidana kurungan,yaitu, pertama, pelanggaran ancaman pidananya pidana denda Rp 250 atau kurungan 1 bulan, seperti pelanggaran lalu lintas; dan kedua, tipiring yang ancaman pidananya pidana denda dan kurungan seperti diatur Pasal 489 sampai Pasal 569 Buku Ketiga KUHP tentang Pelanggaran.
Secara umum kejahatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang dilakukan oleh golongan menengah ke bawah. Sedangkan tindak pidana khusus yaitu tindak pidana yang dilakukan oleh golongan menengah ke atas. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh pelaku adalah pelanggaran terhadap UULAJ, seperti melanggar traffic light, membawa motor tanpa STNK/SIM. Tindak pidana umum yang sering dilakukan pelaku kejahatan ini adalah pencurian biasa (Pasal 362 KUHP); pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); sedang tindak pidana khusus yang sering dilakukan oleh pelaku kejahatan ini adalah korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dan tindak pidana terorisme.
C.    Tujuan Mata Kuliah Hukum Penitensier
Mata kuliah Hukum Penitensier terkait dengan pelaksanaan hukuman yang harus dijalani pelaku, baik pelaku tindak pidana umum maupun pelaku tindak pidana khusus. Tindak pidana umum adalah tindak pidana yang menimbulkan gangguan terhadap ketertiban umum, sedangkan tindak pidana khusus adalah tindak pidana yang menimbulkan dampak yang sangat luar biasa dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Dari dampak yang ditimbulkan kejahatan tersebut, tindak pidana khusus seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, dan terorisme merupakan kejahatan yang dapat menimbulkan dampak luar biasa. Namun dari keempat tindak pidana tersebut, bila ditelusuri seluk beluknya terdapat hubungan yang sangat erat (korelasional) antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana lainnya.
Tujuan utama yang ingin dicapai dari Mata Kuliah Hukum Penitensier adalah untuk mengetahui bentuk tindak pidana, penjatuhan pidana, pelaksanaan pidana dan pengawasannya, sebagai berikut:
1.      Pelanggaran
a.       Bentuk tindak pidana pelanggaran
1.      Pelanggaran terhadap UULAJ, pelanggaran lalu lintas. Pelaku hanya diberikan surat sebagai bukti bahwa ia telah melakukan pelanggaran yang lebih dikenal dengan “Tilang” (Bukti Pelanggaran).
2.      Tindak pidana ringan (Tipiring) misalnya pengemisan di depan umum atau gelandangan atau Wanita Tuna Susila (WTS) serta tindak pidana ringan lainnya.
b.      Penjatuhan sanksi pidana
Pelaku pelanggaran lalu lintas oleh Hakim PN hanya dijatuhi pidana denda sesuai dengan pasal yang dilanggar, sedangkan pelaku Tipiring biasanya dijatuhi pidana kurungan, yaitu mereka tidak boleh melakukan pengemisan dan menggelandang di jalan. Setelah pengadilan menjatuhkan pidana kurungan kemudian mereka ditampung dan ditempatkan di Panti Sosial pada kantor Dinas Sosial Kabupaten dan Kota untuk menjalani program Rehabilitasi Sosial. Mereka akan diberi pelatihan dan ketrampilan sesuai dengan usia maupun keahliannya.
c.       Pelaksanaan pidana
Pelaksanaan pidana denda bagi pelanggaran lalu lintas, mereka hanya membayar denda sebesar yang diputuskan Hakim dan harus dibayar saat itu juga, yaitu saat pelaksanaan sidang pada setiap hari yang telah ditetapkan oleh masing-masing pengadilan (PN); sedangkan bagi pelaku Tipiring, setelah mereka selesai menjalani Rehabilitasi Sosial mereka diharapkan dapat mandiri, karena tidak disalurkan bekerja, akibatnya banyak dari mereka yang menjalani lagi profesinya semula, yaitu sebagai pengemis, gelandangan, ataupun WTS.

2.      Kejahatan
a.       Tindak Pidana Umum
1.      Bentuk Tindak Pidana Umum
Tindak pidana umum yang sering dilakukan misalnya; pencurian, pembunuhan, perkosaan, perampokan.
2.      Penjatuhan sanksi pidana
Pelaku tindak pidana umum misalnya pencurian ataupun pembunuhan oleh Hakim biasanya dijatuhi pidana penjara 1 sampai 5 tahun atau lebih. Namun dalam praktek, seringkali penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana umum bisa sama, atau bisa lebih berat dari pelaku tindak pidana khusus.
3.      Pelaksanaan pidana
Pelaku tindak pidana umum akan menjalani pidana penjara di lembaga permasyarakatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 sebagai narapidana.
b.      Tindak Pidana Khusus
1.      Bentuk tindak pidana khusus
Bentuk tindak pidana khusus dari waktu ke waktu selalu mengalami peningkatan secara kualitas maupun kuantitas, terutama modus maupun motifnya sehingga mampu menghasilkan uang besar yang diperoleh secara tidak sah. Sedangkan tindak pidana terorisme dilakukan bukan untuk menghasilkan uang, bahkan seringkali membutuhkan biaya yang besar karena kejahatan ini sangat terkait dengan ajaran dan keyakinan suatu agama meskipun hanya kepada salah satu agama saja, khusunya agama islam.
2.      Pelaku tindak pidana khusus
Pelaku tindak pidana khusus berasal dari golongan menengah ke atas. Sedangkan pelaku tindak pidana terorisme berasal dari golongan kelas bawah dan mereka hanya dijadikan alat oleh orang-orang yang mempunyai uang dan kekuasaan untuk mencapai tujuannya.
3.      Dampak tindak pidana khusus
Tindak pidana korupsi dan pencucian uang sangat merugikan keuangan negara maupun perekonomian; tindak pidana narkotika sangat berbahaya karena dapat merusak dan meghancurkan generasi penerus suatu bangsa; sedangkan tindak pidana terorisme menyebabkan kecemasan maupun kepanikan serta menimbulkan kematian bagi orang-orang yang tidak berdosa.
4.      Penegakan hukum terhadap pelaku
Terjadi perbedaan perlakuan terhadap pelaku tindak pidana khusus, karena pelaku tindak pidana khusus mampu melakukan perlawanan, karena mempunyai jabatan dan uang. Sedangkan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana terorisme mulai dari penyelidikan dan penyidikan bersifat sangat represif dan cenderung melanggar HAM.
5.      Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku
Dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, dan money laundring, kecenderungan hakim menjatuhkan sanksi pidana minimal atau bukan sanksi pidana berat, baik pidana penjara maupun denda, yaitu pidana penjara 1-4 tahun dan denda antara Rp 50 juta- Rp 200 juta. Sedangkan dalam tindak pidana terorisme Hakim cenderung menjatuhkan sanksi pidana berat, seperti pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, bahkan banyak yang dijatuhi pidana mati.
6.      Perlakuan terhadap Narapidana tindak pidana khusus
Ketika menjalani hukuman di Lapas mereka mendapatkan fasilitas dan sarana prasarana yang lebih baik dan bahkan seperti layaknya menginap di hotel berbintang. Hal ini terjadi karena mereka mampu membayar sesuai tarif yang berlaku.

D.    Pembahasan Materi Kuliah
Materi kuliah Hukum Penitensier ini membahas tentang penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan, mulai dari bentuk tindak pidana, penjatuhan sanksi pidana, dan pelaksanaan sanksi pidana serta pengawasannya. Yaitu tindak pidana yang ancaman hukumannya berat dan pelanggaran yang ancaman hukumannya ringan. Kejahatan terdiri dari tindak pidana umum dan tindak pidana khusus seperti diatur dalam KUHP maupun diluar KUHP.
Tindak pidana pelanggaran terdiri dari pelanggaran lalu lintas dan tindak pidana ringan. Sedangkan tindak pidana kejahatan terdiri dari tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, mulai dari penyelidikan, peyidikan, dan penyidikan tambahan (pra penuntutan), pemeriksaan sidang pengadilan, penuntutan, dan penjatuhan sanksi pidana serta pelaksanaan hukumannya.














BAB II
PIDANA DAN PEMIDANAAN
A.    Pengertian Tindak Pidana
Hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1.      Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, dilarang, yang disertai ancaman tertentu atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2.      Menentukan bagaimana dan menentukan hal-hal apa mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
Dari penjelasan diatas, yang dimaksud perbuatan jahat adalah perbuatan yang diancam dengan pidana yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi berupa pidana.
Syarat pertama untuk menindak suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang tercela itu dan memberikan suatu sanksi. Peristiwa pidana adalah suatu rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan lainnya yang dapat dilakukan penghukuman.
Istilah yang dipakai bagi perbuatan yang diancam pidana terdapat istilah berbeda-beda. Antara para sarjana dan pembentuk undang-undang belum ada kesatuan pendapat tentang istilah tersebut. Sedangkan mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat berbagai pendapat para sarjana yang dibedakan menjadi dua, yaitu golongan monistis dan golongan dualistis. Golongan monistis adalah golongan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya tindak pidana sebagai syarat pemidanaan, sedangkan golongan dualistis adalah golongan yang memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, unsur tindak pidana itu tidak sama dengan syarat penjatuhan pidana. Seseorang dapat melakukan tindak pidana tetapi tidak harus dijatuhi pidana, apabila dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggungjawab atau dilakukan tidak dengan kesalahan.
Oleh karena itu, dalam menentukan adanya pidana itu tidak ada perbedaan yang prinsipil antara golongan monistis maupun golongan dualistis. Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana terhadap perbuatan seseorang yang telah melanggar larangan dan diancam dengan pidana dalam undnag-undang antara kedua teori tersebut tidak ada perbedaan.
B.     Kejahatan dan Pelanggaran
Pembentuk undang-undang telah membuat penggolongan tentang tindak pidana. Penggolongan tindak-tindak pidana yang terang dan tegas dengan beberapa konsekuensi diadakan dalam perundang-undangan di Indonesia adalah penggolongan kejahatan dan pelanggaran.
Untuk menemukan perbedaan tersebut, pertama, dengan meneliti maksud dari pembentuk undang-undang dan kedua, dengan meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tindak pidana yang termuat dalam Buku II KUHP di satu pihak dan tindak-tindak pidana yang termuat dalam Buku III KUHP.
Ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran untuk membedakan kedua jenis delik tersebut, yaitu perbedaan secara kualitatif dan kuantitatif.
a.       Recthsdelicten dan wetsdelicten
Yang disebut rechtsdelict, ialah perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu UU atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan. Yang disebut wedelict, ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena UU menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada Uuyang mengancamnya dengan pidana.
b.      Secara kualitatif
Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kuantitatif. Pendirian ini hanya meletakan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan.




C.    Pidana dan Pemidanaan
Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
Dari definisi diatas, pidana itu mengandung ciri-ciri yaitu :
1.      Pidana pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2.      Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan.
3.      Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Pidana fokusnya adalah perbuatan salah yang dilakukan pelaku. Perbuatan itu mempunyai peranan yang besar dan merupakan syarat yang harus ada bagi adanya pidana. Pidana dijatuhkan pada seseorang karena ia telah melakukan perbuatan salah dengan tujuan mencegah terulangnya perbuatan dengan mengenakan penderitaan kepada pelaku kejahatan.
Tujuan pidana disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena hilang kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi seseorang masyarakat sosial Indonesia yang berguna dan tujuan pidana penjara adalah pemasyarakatan.
Menurut teori absolut, tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum pidana itu sendiri. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan pidana harus dijatuhi pidana. Menurut teori relatif, tujuan dari pemidanaan adalah untuk: mencegah terjadinya kejahatan, memberikan perlindungan masyarakat terhadap kejahatan, dan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana. Menurut teori campuran, menyatakan bahwa hukuman dijatuhkan oleh karena orang tersebut melakukan kejahatan dan supaya orang lain jangan sampai melakukan kejahatan.
Dalam menjatuhkan pidana kepada pelanggar hukum harus dilihat apakah mereka telah melakukan suatu pelanggaran ringan atau melakukan kejahatan,sehingga pidana tersebut mencapai sasaran dan bermanfaat bagi terhukum. Oleh karena itu, penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana perlu memperhatikan pelaku dan sifat tindak pidana, yaitu pelakunya masih dibawah umur, merupakan kejahatan atau pelanggaran, ataupun merupakan tindak pidana yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
D.    Filsafat Pemidanaan
Dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang menjernihkan pemahaman tentang hakekat pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan pemidanaan. Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan ukuran/dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum pidana yang mempunyai pengaruh kuat ada dua, yaitu, pertama, keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan (retributive justice) dan kedua, keadilan yang berbasis pada filsafat pemulihan (restorative justice).
Dalam hubungan ini terdapat dua kategori pendekatan yang bertentangan, yaitu dari pikiran filsafat dan pikiran hukum. Pertama, para filosof memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana, dan kedua, para ahli hukum dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah, atau merehabilitasi. Dari kedua masalah tersebut, maka masalah yang kedua sangat terkait dengan tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dan merupakan ranah filsafat.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana harus memiliki tujuan yang jelas, tetapi tujuan pemidanaan tersebut sangat dipengaruhi filsafat yang dijadikan dasar penetapan ancaman dan penjatuhan pidana. Oleh karena itu, setiap negara harus memiliki landasan filosofis yang jelas dalam merumuskan dan menetapkan dasar pemidanaan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Adapun landasan dasar filosofis pemidanaan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai maupun pandangan hidup (way of life) yang dianut suatu bangsa, yaitu liberalisme-individualisme, sosialisme-komunisme, atau Pancasila.
Dalam merumuskan dan menetapkan landasan filosofi pemidanaan, bangsa Indonesia harus berpegang pada nilai-nilai dan pandangan hidup yaitu Pancasila.
E.     Teori-teori dan Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan atau sebagai pedoman, landasan filosofis dan justifikasi pemidanaan sehingga “tidak hilang” atau “tidak dilupakan” dalam praktek. Tujuan pemidanaan tidak terlepas dari nilai-nilai sosial dan budaya suatu bangsa sebagai dasar pembenaran penjatuhan pidana serta penerapannya didasarkan atas teori-teori pemidanaan. Secara tradisional teori pemidanaan dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut :
1.      Teori absolut dan teori pembalasan (retributive theorieen)
Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Adapun dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.
Ciri-ciri pokok teori retributive adalah sebagai berikut :
a.       Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan.
b.      Tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, seperti untuk kesejahteraan masyarakat.
c.       Kesalahan adalah satu-satunya syarat untuk adanya pidana.
d.      Pidana harus sesuai dengan kesalahan si pelanggar.
e.       Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan si pelanggar.
2.      Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian theorieen)
Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Ciri-ciri teori utilitarian adalah sebagai berikut :
a.       Tujuan pidana adalah pencegahan (preventions)
b.      Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu kesejahteraan masyarakat.
c.       Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.
d.      Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.
e.       Pidana melihat ke muka, pidana dapat mengandung unsur pencelaaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Adapun tentang tujuan pencegahan kejahatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu antara istilah prevensi spesial dan prevensi general.
1.      Prevensi spesial (special deterence)
Pencegahan kejahatan dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana, sehingga tujuan pidana adalah agar terpidana berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.
2.      Prevensi general (general deterence)
Pencegahan kejahatan ingin dicapai dengan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat umum untuk tidak melakukan kejahatan.
F.     Jenis-jenis Pidana
Secara teoritis sistem pidana dan pemidanaan di Indonesia sudah menganut double track system. Artinya, sistem sanksi dalam perundang-undangan pidananya tidak hanya memuat jenis sanksi pidana saja, tetapi juga jenis sanksi tindakan. Hanya saja di dalam KUHP bentuk sanksi tindakan masih diperuntukan bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab serta anak di bawah umur. Kebijakan penetapan sanksi dalam hukum pidana merupakan bagian penting dalam sistem pemidanaan karena dapat memberikan arah dan pertimbangan tentang jenis pidana apa yang akan dijadikan sanksi bagi suatu tindak pidana. Oleh karena itu, maka kebijakan penetapan kedua jenis sanksi tersebut, baik sanksi pidana dan sanksi tindakan harus dilakukan secara jelas dan tidak tumpang tindih dalam perundang-undangan hukum pidana positif maupun perundang-undangan diluar KUHP. Dengan kata lain, maka kedudukan sanksi pidana dan sanksi tindakan adalah sejajar dalam kedua perundang-undangan pidana tersebut.
Jenis-jenis pidana menurut KUHP seperti yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP dibagi menjadi 2 jenis yaitu sebagai berikut :
a.       Pidana pokok
1.      Pidana mati.
2.      Pidana penjara.
3.      Pidana kurungan.
4.      Pidana denda.
b.      Pidana tambahan
1.      Pencabutan hak-hak tertentu.
2.      Perampasan barang-barang tertentu.
3.      Pengumuman putusan hakim.
Selain jenis sanksi tersebut dalam hukum pidana positif dikenal pula sanksi berupa tindakan sebagai berikut :
a.       Penempatan di rumah sakit jiwa (Pasal 44 ayat 2 KUHP).
b.      Bagi anak yang belum berumur 16 tahun yang melakukan tindak pidana, hakim dapat mengenakan tindakan berupa (Pasal 45 KUHP) :
1.      Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya.
2.      Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah, anak dimasukan ke dalam rumah pendidikan negara yang diatur  dalam Peraturan Pendidikan Paksa (Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 No. 741).
c.       Penempatan di tempat bekerja negara (Landswerkinrichting) bagi para penganggur yang malas bekerja dan tidak mempunyai pekerjaan atau mata pencaharian serta mengganggu ketertiban umum atau perbuatan asosial lainnya (Stb.1936 No. 160)
d.      Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955) berupa :
1.      Penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu.
2.      Pembayaran uang jaminan selama waktu tertentu.
3.      Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan.
4.      Kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya si terhukum selama hakim tidak menentukan lain.




BAB III
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN (EKSEKUSI)
A.    Pengertian
Salah satu tahapan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah pemeriksaan pengadilan yang bersifat terbuka untuk umum, kecuali pemeriksaan terhadap tindak pidana kesusilaan sifatnya tertutup, seperti perzinahan (Pasal 284 KUHP) dan perkosaan (Pasal 285 KUHP). Pemeriksaan pengadilan adalah pemeriksaan terhadap orang-orang yang terkait perkara pidana, seperti terdakwa, saksi, dan ahli yang diakhiri dengan penjatuhan pidana (putusan hakim).
Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP). Menurut Pasal 183 KUHAP: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Menurut penjelasan Pasal 183 KUHAP, ketentuan ini untuk menjamin tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum bagi seseorang.
Di Indonesia asas kebebasan Hakim (Judicial discretionary power) dijamin sepenuhnya dalam undang-undang Kekuasaan Kehakiman.menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2021 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Kebebasan Hakim yang sedemikian besar tersebut seringkali menimbulkan abuse of power yang berujung pada kesewenang-wenangan dalam menjatuhkan hukuman.
Kebebasan tersebut melahirkan perilaku Hakim yang dikenal dengan istilah “budaya ekonomi hukum hakim”, yaitu hakim lurus (idealistis), hakim rakus (matrealistis), dan hakim toleran (idealistis realistis). Putusan pengadilan dibedakan menjadi dua, yaitu putusan akhir (vonnis) dan penetapan (beschikking). Dalam KUHAP hanya dikenal tiga macam putusan akhir sebagai berikut :
1.      Putusan bebas (Vrijspraak), kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat 1 KUHAP).
2.      Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), yaitu apabila hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindak pidana (Pasal 191 ayat 2 KUHAP).
3.      Putusan pemidanaan (veroordeling), yaitu apabila hakim berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dengan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat 3 KUHAP).
Selain ketiga jenis putusan pengadilan di atas, terdapat putusan Hakim yang bukan merupakan putusan akhir atau dikenal dengan istilah penetapan. Pertama, pernyataan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara (onbevoegd verklaring), kedua, pernyataan surat dakwaan yang batal. Ketiga, pernyataan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, dan keempat, pernyataan penangguhan pemeriksaan perkara terdakwa karena ada perselisihan praeyudisil.
Putusan pengadilan dijatuhkan terhadap perkara pelanggaran dan kejahatan. Pelanggaran merupakan perkara pidana yang ancaman hukumannya ringan. Penjatuhan putusan pengadilan tersebut dilakukan sesuai dengan kategori perkara pidana, cara penuntutan maupun pemeriksaannya, yaitu perkara cepat, terdiri dari perkara cepat tindak pidana ringan dan perkara cepat lalu lintas, perkara singkat, dan perkara biasa.
B.     Pelaksana Putusan Pengadilan
1.      Lembaga Kejaksaan
Lembaga penuntut umum berasal dari Perancis yang diambil alih Belanda dan dimasukan dalam Wetboek van Strafvoerdering (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 1838) yang berasal dari Inlands Reglement 1948 kemudian diterapkan di Indonesia. Setelah mengalami perubahan terakhir (1941) menjadi Het Herzine Indonesisch Reglement/HIR (Hukum Acara Pidana Pembaharuan) yang memuat ketentuan acara Perdata dan acara Pidana bagi orang Indonesia asli dan Timur asing (China, Arab, dan India). Sebelum lahirnya KUHAP hukum acara bagi peradilan umum adalah Het Herzine Indonesisch Reglement (HIR), Staatblad Nomor 44 tahun 1941. Sebelum adanya kekuasaan sentral yang menentukan suatu kewajiban untuk melaksanakan tugas-tugas peradilan, maka tidak ada perbedaan antara proses perkara perdata dan pidana.
Tuntutan pidana akhirnya bukan lagi menjadi urusan pribadi, tetapi merupakan persoalan kepentingan umum dan segala penuntutan pidana harus dilakukan pemerintah atas nama masyarakat. Menuntut seorang terdakwa di muka Hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. Tindakan penuntutan tersebut dilaksanakan setelah penuntut umum melakukan tindakan prapenuntutan. Menurut KUHAP penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur undang-undang dengan permintaaan supaya diperiksa dan diputus hakim di sidang pengadilan. Penuntutan dilakukan setelah penuntut umum mengambil sikap yang pasti atau menurut pendapatnya terdapat cukup alasan untuk menetapkan peristiwa pidana itu diancam pidana, siapa pembuatnya, dan apakah pelakunya dapat dijatuhi pidana. Apabila suatu perkara pidana telah memenuhi syarat, penuntut umum harus segera membuat surat dakwaan dan apabila tidak cukup bukti, ia harus membuat Surat Penetapan Penghentian Penuntutan.
2.      Kedudukan Kejaksaan
Lembaga Penuntut Umum di Indonesia saat ini dikenal dengan Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan. Dalam Undang-Undang Kejaksaan dinyatakan, bahwa Kedudukan Kejaksaan diatur dalam Pasal 2, 3, dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
Menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Kejaksaan yang dimaksud dengan “secara merdeka”, yaitu dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Menurut penjelasan Pasal  2 ayat (3) Undang-Undang Kejaksaan yang dimaksud “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan”, yaitu satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan. Penuntutan oleh kejaksaan tidak akan berhenti, jika Penuntut Umum berhalangan tugas, penuntutan tetap berlangsung dan dilakukan jaksa lain sebagai pengganti.
Kejaksaan termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang dalam proses peradilan pidana yang dilaksanakan Jaksa dan Penuntut Umum sebagai jabatan fungsional.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jabatan tersebut merupakan jabatan fungsional yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan. Dengan demikian Jaksa merupakan pejabat pelaksana putusan pengadilan dan Penuntut Umum Jaksa bertugas melaksanakan penuntutan dan penetapan hakim.
3.      Tugas dan Wewenang
Tugas dan wewenang Kejaksaan dibedakan menjadi dua macam, yaitu tugas dan wewenang secara umum dan khusus. Pertama, tugas dan wewenang Kejaksaan secara umum telah diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan sebagai berikut :
1.      Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a.       Melakukan penuntutan
b.      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
c.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat.
d.      Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang
e.       Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2.      Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3.      Di bidang ketertiban dan ketentraman umum kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a.       Peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
b.      Pengamanan kebijakan penegakan hukum.
c.       Pengawasan peredaran barang cetakan.
d.      Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara.
e.       Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
f.       Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Kedua, kejaksaan dapat meminta hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal yang dapat membahayakan orang lain atau dirinya sendiri. Ketiga, tugas dan wewenang lain berdasrkan undang-undang. Keempat, membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kelima, memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
Sedangkan tugas dan wewenang Kejaksaan secara khusus, Pertama, menurut Pasal 35, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang :
a.       Menetapkan dan mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan.
b.      Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang.
c.       Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
d.      Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
e.       Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.
f.       Mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah NKRI karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kedua, Jaksa Agung dapat memberikan izin kepada tersangka/terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit dalam negeri dan/atau luar negeri melalui Kajari setempat karena fasilitas di dalam  negeri belum mencukupi. Ketiga, Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani serta pertanggungjawabannya disampaikan ke Presiden dan DPR sesuai dengan prinsip akuntabilitas. Sedangkan tugas dan wewenang Penuntut Umum dalam penanganan perkara pidana diatur dalam Pasal 13, 14, dan 15 KUHAP.
Dengan demikian, pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut dilakukan Jaksa sedangkan penuntutan dan pelaksanaan penetapan Hakim dilakukan penuntut umum.
C.    Pelaksanaan Putusan Pengadilan (Eksekusi)
Pada saat ini yang dimaksud dengan eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dilakukan Jaksa selaku pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang. Pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi) menurut KUHAP diatur dalam BAB XIX Pasal 270 sampai Pasal 276. Putusan pengadilan yang dapat dilakukan eksekusi adalah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde), yaitu apabila terdakwa atau penasehat hukum atau Penuntut Umum telah menerima putusan hakim pada pengadilan tingkat pertama (hakim pengadilan negeri). Apabila terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum belum menerima putusan karena melakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa, seperti perlawanan, banding, dan kasasi maupun upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali, putusan pengadilan tersebut belum dapat dilakukan eksekusi oleh Jaksa.
Kriteria putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut :
a.       Apabila terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan.
b.      Apabila tenggang waktu untuk mengajukan banding telah lewat tanpa dipergunakan oleh yang berhak.
c.       Apabila permohonan banding telah diajukan, kemudian permohonan tersebut dicabut kembali.
d.      Apabila ada permohonan grasi yang tidak disertai permohonan penangguhan eksekusi.
e.       Apabila semua upaya hukum biasa telah diajukan.
Dengan kata lain, apabila putusan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap barulah putusan tersebut dapat dieksekusi oleh Jaksa.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url