HUKUM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT



3.1 Menurut Hukum Adat
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

A.    Sifat Perkawinan menurut Hukum Adat
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan kekeluargaan, susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:
1.      Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier:
a.       Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
b.      Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
c.       Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
d.      Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.

2.      Perkawinan dalam keluarg matrilinier:
a.       Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput.
b.      Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap dapat keluarganya sendiri.
c.       Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.

3.      Perkawinan dalam keluarga parental, setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

B.     Bentuk hukum perkawinan adat
Adanya perbedaan bentuk hukum perkawinan adat lebih disebabkan karena terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut oleh masing-masing masyarakat adat di Indonesia, adapun bentuk perkawinan hukum adat yaitu:[1]
1.      Perkawinan Jujur
Yang dimaksud dengan perkawinan jujur adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran "jujur", di Gayo di sebut "onjok", di Maluku disebut "beli, wilin", di Timor disebut "belis", di Batak disebut "tuhor". Pembayaran demikian diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebagaimana terdapat di daerah Gayo, Maluku, Timor, Batak, Nias, Lampung, Bali, Sumba dan Timor. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak perempuan berarti setelah perkawinan si perempuan akan mengalihkan kedudukannya ke dalam kekerabatan suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu atau sebagaimana berlaku di daerah Lampung dan Batak untuk selama hidupnya.

2.      Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang "matrilineal" dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semanda, calon mempelai laki-laki dan kerabtnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak perempuan, bahkan sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Perkawinan semacam ini terdapat di lingkungan masyarakat adat Minangkabau. Setelah terjadi perkawinan, suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku.

3.      Perkawinan Bebas (Mandiri)
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri ini pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental, seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi serta di kalangan masyarakat Indonesia yang modern, dimana kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah tangga.

4.      Perkawinan Campuran
Pengertian Perkawinan Campuran dalam arti hukum adat adalah bentuk perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda agama yang dianut. Terjadinya perkawinan campuran pada umumnya menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Namun dalam perkembangannya, hukum adat ada yang memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini sehingga perkawinan campuran dapat dilaksanakan.

5.      Perkawinan Lari
Perkawinan Lari atau biasa di sebut kawin lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi paling banyak terjadi adalah di kalangan masyarakt Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makassar dan Maluku. Walaupun kawin lari merupakan pelanggaran adat, tetapi di daerah-daerah tersebut terdapat tata tertib guna menyelesaikan masalah ini. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah suatu bentuk perkawinan sebenarnya, melainkan merupakan suatu sistem pelamaran karena dengan terjadi perkawinan lari dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak.




[1] Dewi Wulansari, 2021. HUKUM ADAT INDONESIA Suatu Pengantar. PT Refika Aditama: Bandung.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
hukum perkawinan menurut hukum adat