HUKUM PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM


2.1 Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perkawinan di Indonesia diatur daam keputusan menteri agama RI No.154/1991 tentang pelaksanaan intruksi presiden RI No.1/1991 tanggal 10 Juni 1991 mengenai kompilasi hukum Islam dibidang hukum perkawinan. Kompilasi hukum Islam dibidang hukum perkawinan terdiri dari 19 bab, dan terbagi menjadi 170 pasal.
Di jelaskan dalam pasal 2 pengertian perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
A.    Dasar-dasar perkawinan Kompilasi Hukum Islam tertulis dalam Bab II
·         Pasal 2
Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

·         Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

·         Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

·         Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

·         Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

·         Pasal 7
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
a.       adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b.      hilangnya Akta Nikah;
c.       adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
d.      adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
e.       perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
·         Pasal 8
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

·         Pasal 9
(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.
(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

·         Pasal 10
Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yanh dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

B.     Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) syarat perkawinan
1.      Dalam pasal 14 untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.

2.      Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah:
a.       Syarat Umum, perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221) tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24) tentang larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda dan saudara sesusuan.
b.      Syarat Khusus, adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan, calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir, dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan perkawinan. Harus ada wali nikah. Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan hadist Rasul SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.

C.    Larangan-larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
1.      Didalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan dalam Pasal 39. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan:
a.       Karena pertalian nasab, yaitu:
-        dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
-        dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
-        dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya;
b.      Karena pertalian kerabat semenda, yaitu:
-        dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
-        dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
-        dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
-        dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya;
c.       Karena pertalian sesusuan, yaitu:
-        dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
-        dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
-        dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
-        dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
-        dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

2.      Dalam Pasal 40 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a.       karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b.      seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c.       seorang wanita yang tidak beragama islam;

3.      Pasal 41 berisi:
(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya:
a.       saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya.
b.      wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.
4.      Pasal 42 tertera larangan seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

5.      Pasal 43 juga menyebutkan bahwa:
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:
a.       dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b.      dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an;
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

6.      Pasal 44 berisi larangan perkawinan beda agama. Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Hukum perkawinan menurut hukum islam