QANUN TENTANG MUKIM DAN QANUN TENTANG GAMPONG

QANUN TENTANG MUKIM


Dalam kedua qanun nomor 4 tahun 2003 tersebut dijelaskan bahwa Mukim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang sudah tumbuh dan berkembang sepanjang sejarah selama berabad-abad telah mendarah daging dalam masyarakat, turun temurun mengakar dalam sistem sosial budayanya dan merupakan satu kesatuan masyarakat adat yang kelangsungan dan keberadaannya masih tetap diakui.
Pasal 1 (4) Qanun Nomor 4 tahun 2003 menyebutkan Mukim atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum Mukim atau nama lain.
Sedangkan Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahanyang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat, sesuai dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam Pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
Sulaiman Tripa mengatakan bahwa dalam implementasinya tugas-tugas mukim masih minim dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mukim lebih cenderung difungsikan dalam kegiatan adat istiadat atau penyelesaian sengketa dalam hukum adat. Hal ini bisa jadi masih adanya nuansa pengaruh desentralisasi dari pelaksanaan UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan pola desa di seluruh Indonesia. Kesulitan mengembalikan sistem pemerintahan menurut kebudayaan masing-masing daerah sangat terasa terutama pada pola pikir.
Mukim mempunyai fungsi :
1.      penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya;
2.      pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual;
3.      pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan, peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat;
4.      peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;
5.      penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaanpersengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat.
Oleh karenanya, peran mukim, hendaknya bisa lebih ditingkatkan, demi terwujudnya keselarasan dalam kehidupan warga masyarakat.

QANUN TENTANG GAMPONG
Sebenarnya, sejak dahulu keberadaan gampong diakui di Aceh tetapi dalam konteks adat. Sulaiman Tripa dalam penelitiannya di tahun 2003 menyebutkan tujuan keberadaan gampong, yang saat itu merupakan nama lain dari desa, merupakan romantisme sejarah saja. Dalam kenyataannya, dalam hal pelaksanaan, gampong tidak ada bedanya dengan desa. Oleh sebab itu, gampong dulu hanya istilah lain dari desa. Padahal, ada perbedaan substansial antara Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan lembaga adatnya.
Namun demikian, dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula.
Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan : ”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam Pasal 10 Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri dari Keuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.
Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Keuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah (bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku Imuem Meunasah. (Sulaiman Tripa, 2003).
Namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah setara dengan Keuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda. Begitu juga dengan bidang legislatif. Dalam Gampong secara tegas dibatasi bahwa unsur legislatif adalah di luar badan eksekutif. Kepala bagian pemerintahan Mukim dan Gampong, Biro Pemerintahan Setda Aceh, Kamaruddin Andalah, M.Si., mengatakan bahwa Tuha Peut adalah unsur legislatif di Gampong.

Ini sejalan dengan Pasal 1 (7) Qanun Nomor 5 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Tuha Peuet Gampong atau nama lain adalah Badan Perwakilan Gampong yang terdiri dari unsur ulama, tokoh adat, pemuka masyarakat dan cerdik pandai yang ada di Gampong. Jadi, Tuha Peut Gampong biasanya dipilih dari berbagai unsur. Unsur pemerintahan diambil biasanya orang yang sudah menjabat sebagai Keuchik atau orang yang sudah pernah terlibat dalam Pemerintahan Gampong. Demikian halnya dengan pertanggungjawaban. Dalam kepemimpinan Keuchik, pertanggungjawaban dilakukan kepada masyarakat. Dalam kenyataan, biasanya hal itu dilaksanakan melalui Tuha Peut.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Qanun tentang mukim dan qanun tentang gampong