HUKUM PERKAWINAN MENURUT KUHPER


1.1  Menurut KUHPerdata dan UU NO. 1 TAHUN 1974
Perkawinan di Indonesia diatur daam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan terdiri dari 14 bab, yang terbagi menjadi 67 pasal. Dalam pasal 1 disebutkan definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

A.    Dasar-dasar perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sahnya suatu perkawinan adalah merujuk pada dasar hukum sebagai berikut:
·         Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

·         Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

·         Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.       isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

·         Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c.       adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

B.     Syarat-syarat Perkawinan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, syarat-syarat perkawinan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari Pasal 6 sampai dengan pasal 11 UU No. 1 tahun 1974, yaitu:
a.       Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
b.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
c.       Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
d.      Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4.
e.       Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
f.       Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut Pasal 12 UU No.1 Tahun 1974 direalisasikan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.

2.      Syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
a.       Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5).
b.      Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
c.       Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain: Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon pengantin, hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan (pasal 8-9).
d.      Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (pasal 10-13).
Sedangkan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:
1.      kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun.
2.      Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak.
3.      Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulusetelah putusnya perkawinan pertama.
4.      Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak.
5.      Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atauwalinya.
6.      Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUH Perdata).

C.    Larangan-larangan dalam Perkawinan
Larangan-larangan Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1.      Larangan perkawinan berdasarkan kekeluargaan (Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974) disebabkan berhubungan darah yaitu larangan perkawinan karena hubungan ke-saudara-an yang terus menerus berlaku dan tidak dapat disingkirkan berlakunya :
a.       Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas
yang terdiri dari ibu sendiri, anak perempuan, ibu dari ayah, cicit (Pasal 8 sub a).
b.      Hubungan darah dalam garis keturunan menyamping terdiri dari saudara perempuan ayah, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan saudara perempuan (kemanakan) (Pasal 8 sub b).
c.       Hubungan semenda terdiri dari saudara perempuan bibi (makcik), ibu dari isteri (mertua), anak tiri (Pasal 8 sub c).
d.      Hubungan susuan yaitu orang tua susuan, saudara susuan, anak susuan dan bibi atau paman susuan (Pasal 8 sub d).
e.       Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang (Pasal 8 sub e).
f.       Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (Pasal 8 sub f).

2.      Larangan oleh karena salah satu pihak atau masing-masing pihak masih terikat dengan tali perkawinan (Pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974). Larangannya bersifat sepihak artinya larangan berlaku secara mutlak kepada pihak perempuan saja yaitu seorang perempuan yang masih terikat dalam perkawinan. Larangan Pasal 9 tidak mutlak berlaku kepada seorang laki-laki yang sedang terikat dengan perkawinan atau seoramg laki-laki yang beristeri tidak mutlak dilarang untuk melakukan perkawinan dengan isteri kedua.

3.      Larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali (Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974). Menurut Pasal 10 diatur larangan kawin bagi suami isteri yang telah bercerai sebanyak 2 (dua) kali. Perkawinan yang mempunyai maksud agar suami isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dipertimbangkan. Pasal 10 bermaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri saling menghargai satu sama lain.

4.      Larangan kawin bagi seorang wanita selama masa tunggu (Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974). Larangan dalam Pasal 11 bersifat sementara yang dapat hilang dengan sendirinya apabila masa tunggu telah lewat waktunya sesuai dengan ketentuan masa lamanya waktu tunggu. Sesuai dengan pasal 8 masa lamanya waktu tunggu selama 300 hari, kecuali jika tidak hamil maka masa tunggu menjadi 100 hari. Masa tunggu terjadi karena perkawinan perempuan telah putus karena:
a.       Suaminya meninggal dunia.
b.      Perkawinan putus karena perceraian.
c.       Isteri kehilangan suaminya.

Sedangkan larangan Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) terdapat pada Pasal 30, 31, 32, 33 KUH Perdata, yaitu:
1.      Pasal 30
Perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama lainnya mempunyai hubungan darah dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun karena kelahiran yang tidak sah, atau karena perkawinan; dalam garis ke samping, antara kakak beradik laki perempuan, sah atau tidak sah.

2.      Pasal 31
Juga dilarang perkawinan:
a.       antara ipar laki-laki dan ipar perempuan, sah atau tidak sah, kecuali bila suami atau istri yang menyebabkan terjadinya periparan itu telah meninggal atau bila atas dasar ketidakhadiran si suami atau si istri telah diberikan izin oleh Hakim kepada suami atau istri yang tinggal untuk melakukan perkawinan lain;
b.      antara paman dan atau paman orang tua dengan kemenakan perempuan kemenakan, demikian pula antara bibi atau bibi orang tua dengan kemenakan laki-laki kemenakan, yang sah atau tidak sah. Jika ada alasan-alasan penting, Presiden dengan memberikan dispensasi, berkuasa menghapuskan larangan yang tercantum dalam pasal ini.

3.      Pasal 32
Seseorang yang dengan keputusan pengadilan telah dinyatakan melakukan zina, sekali-kali tidak diperkenankan kawin dengan pasangan zinanya itu.

4.      Pasal 33
Antara orang-orang yang perkawinannya telah dibubarkan sesuai dengan ketentuan Pasal 199 nomor 3e atau 4e, tidak diperbolehkan untuk kedua kalinya dilaksanakan perkawinan kecuali setelah lampau satu tahun sejak pembubaran perkawinan mereka yang didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil. Perkawinan lebih lanjut antara orang-orang yang sama dilarang.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Hukum perkawinan menurut KUHPER