Unsur- unsur Pasal 111 UU No. 35 Tahun 2021 tentang Narkotika.
1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana adalah ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.” (Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hal 54) . “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” (Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal 130).
Pada umumnya, orang diacam pidana kerena melakukan suatu perbuataan(act). Namun bisa juga karena “tidak berbuat” (omission), orang diancam dengan pidana. [1] setiap orang bagian dari subjek hukum yang prilakunya atau perbuataanya dapat di pertanggung jawabkan.
Seseorang dapat dipersalahkan melakukan perbuatan sebagaimana yang dirumuskan dalam delik atau tindak pidana narkotika yang diatur dialam UU No. 35 Tahun 2021 tentang Narkotika apabila dapat dibuktikan berdasarkan adanya minimal 2 (dua) alat bukti sah yang karenanya dapat meyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur delik yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1)
Yang terdiri dari beberapa unsur-unsur dalam rumusan pasal 111 ayat (1) :
a. Unsur setiap orang
b. Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
c. Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
d. Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
Apabila subjek hukum, dapat memenuhi Unsur-unsur delik secara objektif dan subjektif dapat dijerat dengan sanksi pidana. Untuk menganalisis dari pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2021 tentang Narkotika, maka subjek hukum baru dapat diberikan sanksi pidana apabila memenuhi unsur-unsur delik objektif dan subjektif sebagai berikut:
Unsur objektif :
Unsur objektif merupakan unsur dari luar prilaku (heteromon) yang terdiri atas :
a. Perbuataan manusia..
b. Akibat (refults) perbuataan manusia.
c. Keadaan-keadaan (cirsumstances)
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan Hukum.
Dalam unsur objektif yang dikategorikan suatu perbuataan pidana dapat memenuhi:
1. Memenuhi rumusan UU atau Asas Legalitas
a. Asas legalitas formil : (Pasal 1 (1) KUHP “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”). Jadi setiap perbuataan orang atau setiap orang dapat dikatakan melakukan perbuataan pidana, seperti di atur dalam pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2021 tentang narkotika harus memenuhi unsur-unsur:
a) Unsur setiap orang
b) Unsur tanpa hak atau melawan hukum.
c) Unsur menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
d) Unsur Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
b. Asas legalitas materiil : yaitu hukum yang berlaku didalam kehidupan masyarakat (lihat Pasal 14 (2) UUDS 1950 san pasal 5 (3) sub UU No. 1 drt 1951.). selama tidak ada pertentangan dengan masyarakat, aturan dalam pasal 111 ayat (1) dapat memenuhi unsur dari asas legalitas untuk menentukan suatu tindak pidana.
2. Bersifat melawan Hukum atau Tanpa Hak.
Sejak perubahan pedapat Hoge raad Tersebut, doktrin membedahkan Wederrechtelijk (melawan hukum) atas :[2]
a. Melawan Hukum dalam arti materiil : Wederrechtelijk materiil (melawan hukum materiil) pada hakikatnya tidak didasarkan pada perundang-undangan. Oleh tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenar yang kuat.
b. Melawan Hukum dalam arti Formil, (menurut ajaran Wederrechtelijkheid), sautu perbuataan hanya dapat dipandang sebagai sifat wederrechtelijk apabila perbuataan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan sautu delik menurut undang-undang.
Dalam analisis pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2021 tentang Narkoba, mengadung unsur melawan hukum atau Tanpa hak :
Apabila perbuataan telah mencocok larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan. Letak melawan hukumya perbuataan sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk pengecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang.pendiri demikian dinamakan pendiri yang formal. Sedangkan sebaliknya ada yang berpendapat bahwa tentu kalau semua perbuataan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (Hukum yang tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendiri yang dinamakan pendiri material.[3]
Dalam hal ini apabila ada seseorang atau setiap orang[4] (Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Artinya setiap orang bisa termasuk dalam unsur korporasi maupun sebagai subjek hukum tersendiri) yang Melawan hukum dengan cara menanam adalah Tanaman, apa saja yang ditanam, sayur, buah, rumput-rumputan dan termasuk semuanya (Badudu dan sutan mohammad zain, kamus umum bahasa indonesia (jakarta : pustaka sinar harapan : 1994)) artinya apabila ada setiap irang yang aktivitas menanam tanaman jenis Narkotika Golongan I dapat dikategorikan melawan hukum, sedangkan yang dimaksud dengan Memelihara, memiliki(Mempunyai harta benda yang cukup), menyimpan(menaruh sesuatu di _ artinya menaruh sesuatu bisa dalam bentuk Narkotika), menguasai (berkuasa pd, berkuasa atas artinya berkuasa pada Tanaman Narkotika dalam bentuk Golongan I), atau menyediakan (menyiapkan, menyajikan, mengadakan, mencadangkan: yaitu Narkotika) Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman adalah bentuk sifat melawan Hukum.
Sedangkan yang dimaksud dengan Tanpa Hak “Tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” yaitu setiap perbuatan yang melanggar hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dan atau asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis. Lebih khusus yang dimaksud dengan “tanpa hak” dalam kaitannya dengan UU No. 35 Tahun 2021 tentang Narkotika adalah setiap orang (Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan) tanpa izin dan atau persetujuan dari pihak yang berwenang untuk itu, yaitu Menteri atas rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau pejabat lain yang berwenang berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2021 tentang Narkotika dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Walaupun “tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” namun sebagaimana simpulan angka 1 di atas yang dimaksud “tanpa hak” dalam kaitannya dengan UU No. 35 Tahun 2021 adalah tanpa izin dan atau persetujuan dari Menteri yang berarti elemen “tanpa hak” dalam unsur ini bersifat melawan hukum formil sedangkan elemen “melawan hukum” dapat berarti melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Tanpa hak yaitu tidak mempunyai kekuasaan, kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum; tuntutan syah agar orang lain bersikap dengan tertentu; kebebasan untuk melakukan sesuatu menurut hukum. Artinya tidak mempunyai dimaksud dengan pasal 112 yaitu tidak mempunyai hak tanpa ada persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. dan izin pengelolaan dari pihak yang berwenang mentri.
Melawan Hukum yaitu suatu sikap yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak orang lain. Dalam hal ini sifat melawan hukum berkaitan erat dengan pelaku bertentangan melanggar aturan dengan melakukan perbuataan yang bertentangan dengan undang-undang terkait dengan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan norkotika padahal barang haram tersebut dilarang beredar terkecuali untuk kepentingan tertentu sesuai yang di atur dalam undang-undang.
Terkait dengan sistem pelaksanaan dan tata cara pengelolaan narkotika untuk kepentingan memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan sumber dari Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan Pemerintah
Unsur objektif dalam tindak pidana tidak dapat terpenuhi jika, “Ada Alasan Pembenar” yaitu :
a. Pasal 49 (1) KUHP “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”
b. Pasal 50 KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.”
c. Pasal 51 (1) KUHP “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”
Jadi tindak pidana meskipun telah memenuhi ketentuan pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2021, akan tetapi unsur objektif dalam tindak tidak dapat terpenuhi jika “ada alasan pembenar”.
Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty ar actus non facit reum nisi mens sit rea).[5] Dalam hal ini dianggap melakukan kesalahan apabila pelaku dapat bertanggung jawab, dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan singkat diterangakn sebagai keadaan batin orang normal, yang sehat.[6] Dalam KUHP kita tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang berhubungan dengan itu ialah pasal 44 :
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dalam analisis pada tindak pidana yang diatur dalam pasal 111 ayat (1) UU No. 35 tahun 2021 tentang Narkotika, pelaku tidak dapat dipertanggung jawabkan prilakunya seperti yang dimaksud dengan pasal 111 ayat (1) apabila seperti yang para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulaan , bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada :
1. Kemampuan untuk membeda-bedahkan antara perbuataan yang baik dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.
Jadi apabila ada seorang yang kehilangan akal sehatnya jadinya tidak dapat membedahkan perbuataan mana yang baik dan buruk, sehingga apabila ada orang melakukan tindakan/perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 111 ayat (1) tidak dapat mempertanggung jawabkan prilakunya. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya tidak normal, mungkin dianggap berbahaya bagi masyarakat. Karena itu dalam pasal 44 ayat (2) hakim memerintahkan agar terdakwa dtempatkan dalam rumah sakit jiwa.
Selanjutnya kesalahan yang dimaksud ada dua yaitu :
1. Kesengajaan.
Menurut teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuataan seperti dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der wettelijke omschrijving gerichte wil,) sedangkan menurut yang lain, kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet (de wil tot handelen bij voorstelling van de tot de wettelijke omschrijving behoorende besttanddelen).
Secara umum, pakar hukum pidana telah menerima adanya 3 (tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni:
a. Kesengajaan sebagai maksud(opzet als oogmerk)
Agar dibedahkan antara “maksud” (oogmerk) dengan motif. Sehari-hari, motif dindetikkan dengan tujuan. Agar tidak timbul keragu-raguan, diberikan contoh;
Pada contoh diatas, dorongan untuk ... disebut dengan motif. Adapun maksud, adalah kehendak A untuk melakukan perbuataan atau mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakaannya acaman hukuman pidana, dalam hal ini .......
b. Kesengajaan dengan keinsafan pasti(opzet zekerheidbewustzijn)
Si pelaku (doer or dader) mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat lain. Si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuataan itu, pasti timbul akibat lain.
c. Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan(dolus evebtualis)
Kesengajaan ini juga disebut “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan” bahwa seorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi,si pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diacam oleh undang-undang.
2. Kealpaan.
Kedua hal tersebut dibedahkan “kesengajaan” adalah dikehendaki, sedang “kealpaan” adalah tidak dikehendaki. Umunya para pakar sependapat bahwa “kealapaan” adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaran”. Itulah sebabnya, sanksi atau acaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan kealpaan, lebih ringan.[7]
Unsurs ubjektif dalam tindak pidana tidak dapat terpenuhi jika, ada alasan pemaaf :
a. “tidak dapat bertanggung jawab” Pasal 44 (1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
b. “Overmacht” Pasal 48 Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.
c. “Noodweer excess” pasal 49 ayat (2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
d. “Perintah tanapa wewenang” pasal 51 ayat (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Jadi tindak pidana meskipun telah memenuhi ketentuan pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2021, akan tetapi unsur subjektif dalam tindak tidak dapat terpenuhi jika “ada alasan pemaaf”.
Sanksi Pidana.
Pasal 10 Pidana terdirl atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim
Teori imbalan :
Menurut Immanuel kant selaku ahli filsafat berpendapat bahwa dasar hukum pemidanaan harus dicari dari kejahatan itu sendiri, yang telah menimbulkan penderitaan pada orang lain, sedang hukuman itu merupakan tuntutan yang mutlak (absolute) dari hukum kesusilaan. Disini hukuman itu merupakan suatu pembalasan yang etis.
Teori maksud dan Tujuan.
Berdasarkan teori ini, hukuman dijatuhkan untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu, yakni memperbaiki ketidkpuasan masyarakat sebagai akibat kejahatan itu. Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal. Selain dari itu, tujuan hukuman adalah untuk mencegah (prevensi) kejahatan.
Teori gabungan.
Pada dasarnya, teori gabungan adalah gabungan kedua teori diatas. Gabungan kedua teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi penjahat. Dengan menelaah teori diatas, dapat disimpulkan tujuan pemidanaan adalah :
a. Menjerahkan penjahat;
b. Membinasakan atau membuat tak berdaya lagi si pelaku.
c. Memperbaiki pribadi si penjahat.
Apabila dalam hal ini, tersangka telah memenuhi unsur subjektif dan objektif dalam tindak pidana yang di atur dalam pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2021 tentang narkotika. Dapat dipidana sesuai ketentuan yang dimaksud dengan aturan tersebut “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
[4] tiap (-tiap) 1 masing-masing, per, sendiri-sendiri ; 2 saban. orang, 1 manusia (bukan hewan, bukan malaikat): rupanya dibulan tak ada; 2 yang dimaksud orang bukan diri sendiri; jangan semaumu menggunakan barang-; 3 yang dimaksud diri-nya tak ada dirumah surat itu saya titipkan saja; 4 umum masyarakat: kalau kau berbuat begitu, apa kata –nanti? 4 anak buah hati-hati, nya selalu mengawasi siapa saja yang datang dari situ; 5 kata bantu bilangan sebagai penggolong benda : lima- murid disuruh ke depan kelas; 6 bangsa: jepang terkenal rajin dan ulet; 7 yang datang dari suatu daerah atau kota : kami bandung –bukan jogja.( Badudu dan sutan mohammad zain, kamus umum bahasa indonesia ( jakarta : pustaka sinar harapan : 1994))