HUKUM KETANAGAKERJAAN



I.                   Pendahuluan.
Kalau kita berbicara ketenagakerjaan, hal ini dinjau dari beberapa faktor. Dari beberapa faktor tersebut kita bisa melihat persolaan ketenagakejaan pada sebelum tahun 2003 Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini menurut analisis saya
berangkat dari 4 (empat) soal besar, yaitu;[1]
1. tingginya jumlah penggangguran massal;
2. rendahnya tingkat pendidikan buruh;
3. minimnya perlindungan hukum
4. upah kurang layak
Persolaan ketengakerjaan yang terjadi saat ini, tidak jauh bedah pada tahun 2003. Persolaan yang masih menjadi hantu buruk bagi para pekerja dan pengusaha tidak terjadi hubungan yang baik antara subjek hukum tersebut. Salah satu faktor terjadi demikian dikarenakan perjanjian kerja salah satuhnya. Masih adanya ketidak patuhan kepada aturan hukum yang berlaku, baik itu pekerja dan pengusaha. Tetapi dalam tataran plaktenya yang banyak dirugikan adalah pekerja.
Demikian dengan lahirnya UUKK saat ini, seolah-olah aturan tersebut tidak bisa bekerja degan baik, sesuai dengan relnya. Oleh sebaba itu masih banyak tenaga kerja kita di indonesia maasih membutuhkan perlindungan hukum. Perlindungan hukum disini bukan hanya sebatas aturan hukum, tetapi dalam penegakan hukumnya.
Landasan konstitusioanl yang mengatur tentang ketenagakerjaan disebutkan pada pembukaan dan batang tubuh UUD 1945. Pembukaan UUD 1945, suasana batiniah serta cita-cita hukum dari UUD 1945, yang tidak lain bersumber dan berjiwai oleh falsafah pancasila. Suasana batiniah dan cita-cita hukum tersebut selanjutnya dijelmahkan di dalam batang tubuh. Perihal isi ketentuan dalam batang yang ada relevansinya dengan masalah ketenagakerjaan,terutamadi tentukan pada Pasal 5 ayat (1)[2], Pasal 20 ayat (2)[3], Pasal 27 ayat (2)[4], Pasal 28[5], dan Pasal 33 ayat (1)[6] UUD 1945,
Sebenarnya dengan lahirnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ini menjadi awal yang segar dalam semangat pembaharuan hukum nasioanl. Yang bertujuan untuk pelindungan hukum kepada ketenagakerja, hal ini bisa pelihat didalam UU No. 13 Tahun 2003 yang landasan, asas, dan tujuan
1.      Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(Pasal 2)
2.       Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah(Pasal 3)
3.      Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan(Pasal 4) :
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Semangat lahirnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tidak terlepas dari semangat pembaharuan hukum dan mewujudkan kesejahteraan dengan berdasarkan cita negara Hukum pancasila. Dan lahirnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang dirumuskan oleh badan legislatif dan seluruh komponen banggsa meliputi[7]:
 a. bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atasdasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau ditarik kembali;
tetapi persolaan ketenagakerjaan tidak berhenti begitu saja sejak lihirkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pelaksaan dilapangan aturan ini mendapat tantangan dalam menerapakanya, persolaan hukum saat ini yang menjadi salah satu tren didalam masyarakat indonesia khususnya bagi kaum pekerja adalah
1.      Pemecatan
2.      Waktu kerja
3.      Upah buruh dan lain
Persolaan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam aturan ketenagakerjaan, demikian dengan persolaan hukum terkait dengan perjanjian kerja. Padahal perjanjian kerja ini adalah aspek hukum yang harus diperhatikan karena didalam perjanjian kerja di atur beberapa hal terkait hubungan buruh dan pihak pekerja. Berawal dari persolaan ini penulis menarik menulis dengan sederhana mungkin menjelaskan dari aspek hukum dalam perjanjian kerja. Dengan tujuan menelaah dari aspek hukum menurut UUKK.
II.                Pembahasan.
Perjanjian kerja adalah adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan mengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.[8] Dengan telah disahkanya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (UUKK), maka keberadaan perjanjian kerja sebagai pegangan yuridis dalam hubungan kerja, telah mempunyai landasan yang tegas dan kuat. Walaupun didalam undang-undang tersebut hanya diatur secara parsial tentang perjanjian kerja, telah diatur tersendiri didalam undang-undang tersebut, yaitu didalam Bab IX yang mengatur tentang hubungan kerja. Dengan adanya kentuan tersebut memberikan pengertian yang  baru atas definisi perjanjian kerja, yang akan berbeda konsepsi bila dibandingkan dengan penegertian perjanjian kerja dalam ketentuan lama, seperti yang ditentukan dalam lama,[9]seperti yang ditentukan dalam pasal 1601a KUHPerdata yang menentukan bahwa ;
Perjanjian kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu buruh, mengikatkan diri untuk menyerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan, dengan upah selama waktu yang tertentu.
Syarat perjanjian pasal 52 UUKK sesua dengan KUHPerdata pasal 1320 dan 1337. Sementara itu konsepsi pengertian yang ditentukan di dalam pasal 1601a KUHPerdata dan pasal 1 angka 14 UUKK menunjukan kerja bahwa subjekdari perjanjian kerja adalah bersifat individual bukan kolektif, yaitu pekerja/buruh dengan pengusaha selaku pemberi kerja. Akan tetapi dalam konsepsi pasal 1601a KUHPerdata objekyang dijanjikankan adalah berifat  konkret. Walaupun subjek atau para pihak antara kedua pasal tersebut sama yaitu secara individual, akan tetapi pengertian didalam konsepsi UUKK, objek yang dijanjikan berlainan bukan bersifat konkret tetapi inconcrito, yaitu berupa syarat-syarat kerja, hak, kewajiban antara pekerja /buruh dengan pengusaha selaku pemberi kerja. Konsepsi perjanjian kerja yang ditentukan pasal1 ankat 14 UUKK, objeknya akan sama dengan objek yang diperjanjikan didalam perjanjian kerja bersama seperti ditentukan pada pasal 1 angka 21 UUK[10], yang menentukan bahwa:
Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak
Dimana objek yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja bersama/perjanjian perburuhan memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak. Bahkan didalam ketentuan pasal 1 ayat 2 UU No. 21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan dan pasal 1601 n KUHPerdata ditambah dengan ketentuan “yang harus diindahkan pada waktu membuat perjanjian kerja”. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek yang diperjanjikan antara perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dalam konsep UUKK akan  sama objeknya dengan ketentuan pasal 1601n KUHPerdata[11]dan pasal 1 ayat (2) UU No. 21 tahun 1954 tentang perjanjian buruh[12]. Memang sudah seharusnya, bahwa objek diperjanjikan dalam perjanjian kerja bersama atau perjanjian perburuhan /kespakatan kerja bersama, adalah tentang syarat-syarat  kerja,hak, dan kewajiban kedua belah pihak, yang harus dindakan atau dipedomi sewaktu membuat perjanjian secara individual, yaitu perjanjian kerja.[13]
 Selanjutnya didalam pasal 52 UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan ditentukan hubungan kerja didalam perjanjian kerja memuat sebagai berikut in:
(1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Ketentuan pasal tersebut diatas, ada disebutakan empat dasarnya dalam pembutan perjanjian kerja, dimana ketentuan tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 1320[14]ditambahkan pasal 1337 KUHPerdata[15].
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara hubungan pengusaha dan pekerja/buruh. Dimana pekerja selaku pecari kerja dan pengusa pemberi kerja kerja, merupakan para pihak atau subjek yang membuat perjanjian kerja, dan merupakan pemenuhan syarat subjektif, selanjutnya syarat objektif akan ditentuakan dengan adanya syara-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak. Hubungan kerja merupakan salah satu bentuk hubungan hukum, akan tetapi didalam hubungan kerja terdapat kateristik tersendiri yang membedahkan dengan hubungan-hubungan hukum yang lain. Dengan demikian landasan yuridisnya  yaitu perjanjian kerja harus juga mempunyai karakteristik tersendiri dengan syara-syarat yang ada pada perjanjian biasa. Didalam hubungan kerja harus ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi, adanya unsur pekerja, tertentu, dibawah perintah/service, waktu tertentu dan upah.[16]
Didalam konsepsi UUKK mengandung maksud bahwa anatara pada subjek yang melakukan perjanjian kerja, adalah mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat, dengan demikian maksud yang terkandung dalam pasal 1 angka 14 UUKK tersebut akan meningkatan harkat dan martabat manusia pekerja yang sama dengan kedudukan pemberi kerja yaitu pengusaha. Namun jika dikembalikan dengan adanya karakteristik yang ada dalam hubungan kerja tersebut, apakah kehendak dari UUKK tersebut sesuai dengan fakta dan keadaan bagi hubungan antara pekerja dan pengusaha, hal demikian masih memerlukan kajian lebih lanjut;[17]
1.      Didalam UUKK juga diatur tentang perjanjian kerja untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tertentu, dianatara kedua jenis perjanjian kerja tersbut akan membawa konsekuensi yuridis tertentu baik pekerja maupun pengusahan, baik sebelum, sesaat maupun setelah hubungan kerja tersebut berakhir.
2.      Didalam UUKK tersebut juga ditegaskan bahwa, perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu perjanjian pekerjaan tertentu. Yang menjadi pegangan baik bagi pekerja terlebih lagi pengusaha adlah perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa indonesia dan huruf latin, bahkan dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak dengan tertulis dinyatakan sebagai perjanjian untuk jangka waktu tidak tertentu, keentuan tersebut terutama berakibat dalam hal terjadinya pemutusan hubunga kerja, maka pihak pengusaha akan dibebani berbagai persyaratan, baik syarat formal maupun materiil, dengan disertai beberapa kewajiban yang harus dipenuhi pengusaha.
3.       Dewasa ini ada kecendurangan bahwa pengusaha menggunakan landasan hukum dalam melakukan hubungan kerja, dengan berdasarkan atas perjanjian kerja untuk waktu tertentu, kecenderungan demikian umumnya untuk menghidari apabila terjadi pemutusan kerja terutama dilakukan yang dilakukan sepihak dari pengusaha, dihubungkan dengan kewajiban-kewajiban untuk meminta izin terlebih dahulu disertai dengan pembebanan kewajiban-kewajiban yang memberatkan bagi pihak penguasa, permohonan penetapan pemutusan kerja yang memakan waktu panjang dan berbelit-belit serta pembebanan kewajiban pemberian uang pesangon, penghargaan masa kerja/jasa maupun ganti kerugian yang menjadi pengusaha sebaliknya pengusaha sebaliknya menjadi hak bagi pekerja.
Kecederungan tersebut jelas akan merugikan kepentingan pekerja, akan hak-haknya yang seharusnya menjadi miliknya, ditambah kondisi yang semakin sulit dan sempinya formasi kerja dibanding dengan semakin banyaknya persaingan angkatan kerja dalam mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian perlu adanya perlindungan dan kepastian hukum bagipekerja sebagai warga negara indonesia, seperti yang diamanatkan dalam ketentuan pasal 27 ayat (2) undang-undang Dasar 1945. Kondisi demikian apabila tidak diantisipasi secara cepat dan tepat, dikhawatirkan akan menjadi gejolak sosial dan penghambat pembagunann nasioanal bangsa indonesia yang dewasa ini diharapkan dapat dimulai perbaikan dan pemulihan di berbagai bidang, termasuk didalamnya  bidang ketenagakerjaan.
Untuk mengantisipasi permasalahan diatas, didalam UUKK ini ditentukan tentang rambu-rambu, jenis, sifat, dan kegiatan apa saja yang dapt dilakukan hubungan kerja berdasarkan atas perjanjian kerja untuk waktu tertentu, sehingga para pengusa tidak seenaknya membuat dasar hukum dalam hubungan kerja dengan membuat perjanjian kerja untuk waktu tertentu.
Kebijakan tersebut sepertinya ditentukan dalam pasal 59 ayat (1) UUKK yang menentukan bahwa:
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjuan kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.
(4) Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(5) Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pembaruan perjanjian kerja waktutertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
 (7) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) maka demi hokum menjadi penjanjian kerja waktu tidak tertentu.
(8) Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Didalam ketentuan tersebut juga ditentukan tentang larangan tentang andanya masa persobaan kerja, dalam pembuataan perjanjian kerja untuk tertentu. Dikarenakan apabila masa percobaan kerja diterapkan oleh perusahaan, hubugan kerja antara pekerja dan pengusaha yang penuh hanya berlangsung 9 (sembilan) bulan saja, dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tertentu dilangsungkan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun, hal demikian jelas akan merugikan bagi kepentingan pekerja.
Didalam UUKK ketentuan demikian tidak terdapat dalam pembuataan perjanjian kerja tertentu,didalam letentuan tersebut, yaitu pasal 60 ayat (1) UUKK, masa hubungan masa hubungan kerja tidak tertentu atau tidak terbata dengan waktu, maka dalam perjanjian kerja tersebut dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
III.             Penutup (kesimpulan)
Fungsi dan peran hukum sangatlah dipengaruhi dan kerapkali intervensi oleh kekuatan politik. Di dindonesia, konfigurasi politik berkembang melalui tolak-tarik antara yang demokratis dan otoriter, sedangakan karakter hukum produk hukum mengikuti dalam tolak-tarik antara yang responsif dan konservatif. Sementara itu, untuk membangun terlib tata hukum dan meminisasi pengaruh politik, judicial review sebenarnya dapat dijadikan alat kontrol dan pengawalan yang baik. Tetapi ketentuan-ketentuan tentang yudial review didalam berbagai peraturan perundagan era orde baru ternyata mengadung pula kekacuan teoritis sehingga didapat dioperasionalkan.[18]
Hal demikian juga bisa menjadi persolaan dalam hukum ketenagakerjaan, apabila aturan hukum(produk hukum) yang ada saat tidak mungkin bisa berkerja dengan responsif apabila penegak hukum, di intervensi oleh kepentingan segelitir orang untuk memuluskan usahanya dan mencari keuntunga sebesar-besarnya (pengusaha). Sesuai dengan teori positivisme hukum yang berusaha membebaskan hukum buatan manusia(negara) dari hukum kodrat(moral), politik, psikologi atau sosiologi terbukti memiliki kelemahan.[19]Pembuatan dan penegakan hukum yang diserahkan pada negara membuatnya rentan disusupi kepentingan kepentingan subjektif pembuat dan penegak hukum.[20]Sama halnya dengan kasus hukum ketegakerjaan saat ini tidak terlepas dari kepentingan para elit, untuk memperkuat kekuataan ekonomi. Kondisi seperti sekarang ini terjadi karena negara tidak bisa berfungsi sebagai pelindung untuk warga negaranya. Kondisi seperti ini akan terus terjadi apabila dalam pembuataan perjanjian kerja ada oknum para pengusaha tidak patut kepada peraturan-perundanga. Jangan lupa penegakan hukum harus bebas dari intervensi dari beberapa aspek kepentingan.
Pada negara yang baru merdeka,posisi hukum seperti itu tampak sangat menonjol karena kegiatan politk disana merupakan agenda yang menyita perhatian didalam rangkah perorganisasian dan pengerahan berbagai sumber daya guna mencapai tujuan masyarakat.[21]Demikian dengan lahirnya UUKK ini seharusnya kebutuhan dan perlindungan hukum bagi tenaga kerja dapat dilindungi, karena didalam kenyaatan banyak pekerja dirugikan oleh keputusan dan kebijakan perusahaan. Supaya dalam kedepanya bisa bersifat responsif dengan hadirnya UUKK salah satu cara perlu penertiban dalam pelaksaan dalam perjanjian kerja antara pekerja dan perusahan, agar tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada.
Perlindungan hukum dan hak antara pekerja dan pengusaha dalam tataran implementasi dibutuhkan beberapa solution dalam menjamin hak dan kewajiban anra pekerja dan pengusaha, yaitu sebagai berikut ini:
1.      Pengusaha ahrus patuh kepada peraturan perundang-undagan dengan memperhatikan aturan dalam pembuatan perjanjian kerja.
2.      Pekerja harus profesional dalam pelaksaan pekerjaannya, untuk mengasil produksi yang maksimal.
3.      Antara pekerja dan pengusaha, diharapkan berhati-hati, dan memperhatikan aturan tentang perjanjian kerja, sesuai dengan aturan hukumnya.
4.      Posisi pemerintah, ahrusm memberikan perlindunga kepada warga negaranya dan memberikan lapangan pekerjaan sesuai dengan cita-cita negara hukum pancasila dan pembukaan UUD dan Batang tubuh UUD 1945.
5.      Penegak hukum menjadikan posisinya ditengah perselisihan industrian, menjadi posisi yang netral tanpa ada intervesi.


[1]Rekson Silaban, Masalah Aktual KetenagakerjaanDan Pembangunan Hukum di Indonesia  Jakarta 10 Juli 2003 Rekson Silaban Ketua Dewan Pengurus Pusat Konfederasi SBSI
[2]Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat
[3]Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
[4]Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
[5]Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.
[6]Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
[7]Kosideran menimbang didalam UU nO. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
[8]Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
[9] Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2021) Hlm. 122
[10]Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2021)  Hlm.123
[11]Setiap perjanjian antara majikan dan buruh yang bertentangan dengan suatu perjanjian perubahan kolektif yang mengikat kedua belah pihak satu sama lain, dapat dibatalkan atas tuntutan masing-masing dan mereka yang bersama-sama menjadi pihak dalam perjanjian perburuhan kolektif itu, kecuali pihak majikan.
Yang dimaksud dengan perjanjian perburuhan kolektif adalah suatu peraturan yang dibuat oleh seorang majikan atau lebih, atau suatu perkumpulan majikan atau lebih yang merupakan badan hukum di satu pihak, dari suatu serikat buruh atau lebih yang merupakan suatu badan hukum di lain pihak, tentang syarat-syarat kerja yang harus diindahkan sewaktu membuat suatu perjanjian kerja.
[12]Perjanjian perburuhan dapat juga diselenggarakan untuk pekerjaan borongan atau untuk perjanjian melakukan suatu pekerjaan dan di dalam hal ini berlaku juga ketentuan-ketentuan di dalam Undangundangini tentang perjanjian kerja, buruh dan majikan.
[13]Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2021)  Hlm.124
[14]Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu pokok persoalan tertentu;
4. suatu sebab yang tidak terlarang.
[15]Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
[16] Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2021) Hlm 125-126
[17]Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2021) hlm 126-128
[18] Moh. Mahfud MD, Membagun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi ( Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2021)hlm. 63
[19] Donny Donardono, Wacana Pembaharuan Hukum Di Indonesia (Jakarta, Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat Dan Ekologis(HUMA), 2021) hlm7
[20] Dennis Lioyd, The idea of law, ( London; penguin books, 1973) hlm. 111-112
[21] Moh. Mahfud MD, Ibid,,,, hlm. 65
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url