POLITIK HUKUM ISLAM INDONESIA



Pendahuluan.
Dalam perkembangannya kehidupan masyarakt dan pola pikir masyarakat menimbulkan suatu tuntutan dalam tata stuktur masyarakat yang kondusif dan kentram. Bukan hanya dalam tatanan structural yang selama ini adanya perubahan, tetapi dalam segala aspek termasuk dalam ilmu hokum itu sendiri. Perkembnagan pola pikir dalam kehidupan masyarakat menuntut untuk adanya reformasi dari tatanan hokum yang dapat mengadvokasi kepentingan masyarakat secara umum dan plural.
Dalam penulisan makalah ini penulis mengkaji kontribusi ‘urf dalam perkembangan pemikiran fikih Indonesia. ‘urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manuisa dan telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau meninggalkan sesuatu juga disebuat adat.[1]
            Dari tuntutan zaman dan perkembangan dalam kehidupan masyarakat, yang menuntut adanya reformasi dalam bidang hokum. Para pemikir seperti Hasbi ash-shiddieqy dan huzairin memberikan gagasan dan solusi dalam pemikirannya dalam dunia fikih. Seperti kita ketahui selama ini fikih arab yang kita kenal, ada suatu ketidak relevanan dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena adanya suatu perbedaan kultul budaya yang berbeda di masyarakat arab dan Indonesia itu sendiri.
            Oleh sebab itu dalam makalah ini, akan membahas suatu kontribusi ‘urf dalam pemikiran hokum nasional. Yang sekiranya dapat memberikan suatu pencerahan dalam dunia hokum tanah air, yang selama ini terjadi ketidak adilan. Tapi dalam kajian pembahasan ini dalam artian dalam bentuk fikih muamallah saja. Yang pertama dalam pembasan akan membahas hukumnya ‘urf itu sendiri dan yang kedua kontribusi ‘urf dalam pemikiran fikih Indonesia, yang terakhir pembahasan ini akan di tambah pemikran dan gagasan pemikiran dari fikih Indonesia sumbangsi dalam reformasi tata hokum nasional kedepannaya.
           


Pembahasan.
A.    Hukumnya ‘Urf.
Adapaun ‘urf dalam perkembangannya dikenal adanya ‘urf sahih dan adapun ‘urf yang fasid. Dalam kehidupan masyarakat ‘urf terkadang menjadi norma yang patut di jaga dan di taati, pada dasarnya kita harus melihat ‘urf ini bertentangan dengan nilai dan norma yang lain, seperti Agama, dan Pancasila.
Adapaun ‘urf sahih, haruslah diperiliharan dalam pembentukan hokum dan dalam pengadilan. Bagi seorang mujtahid harus memeliharanya dalam waku membentuk hokum. seorang qodhi (Hakim) juga harus memeliharannya ketika mengadili, karena sesuatu yang telah saling kenal manusia tetapi tidak menjadiadat kebiasaan, maka sesuatu yang disepakati, dan dianggap ada kemasyarataanya, selama sesuatu itu tidak bertentangan dengan syaramaka harus diperilihara. Dan syari’ talah memelihara ‘urf bangsa arab yang sahihdalam membentukan hokum, maka difarduhkanlah diat (Denda) atas orang perempuan yang berakal, disyarakan kafa’ah (kesesuain) dalam hal perkawinan dan diperhitungkan juga adanya ‘ashobah ( Ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti) dalam hal kematian dan pembagian harta pustaka.[2]
            Dalam hal ‘urf Sahih (adat) dapat dikatakan dapat dapat di jadikan sumber hokum dalam tatana masyarakat. Karena ‘urf ini suatu nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalam tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu ‘urf sahih (adat) tak salah bila juga dijadikan suatu hokum (syari,at) yang dikukuhkan menjadi hokum yang legal dalam kehidupan masyarakat. Yang sekiranya ‘urf ini tidak bertentangan dengan norma dan nilai-nilai universal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Al-Marbun Abidin telah menyusun Risalah yang dinamakan dengan. Yang artinya sebagai berikut ini “ Menyebabkan ‘urf di antara Hukum-hukum yang dibentuk berdasakan ‘urf. Diantara unkapan yang dikenal “ apa-apa yang dimerti secara ‘urf adalah seperti yang disyaratkan menurut syarat, dan yang telah tetap menurut ‘urf adalah seperti yang telah tetap menurut nash”[3]
            Adapun ‘urf yang fasid, yaitu apa yang saling dikenal orang, tetapi berlainan dari syari’at, atu menghalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. Misalnya orang saling mengenal bahwa sering terjadi kemugkaran-kemungkaran itu pada tempat melahirkan anak pada tempat-tempat berkumpul. Orang saling mengetahi makan riba dan perjanjian juga hukumnya haram.[4]Maka tidak harus memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara, atau membatalakan hokum syara. Maka apabila manusia telah saling mengerti akad di antara  akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar dan khathar ( tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf, ini tidak memepunyai pengaruh dalam membolehkan akad ini. Karena dalam undang-undang positif manusia tidak diakui ‘urf yang bertentangan dengan undang-undang umum. Dan hukum-hukum yang didasarkan pada atas ‘urf itu dapat berubah meneurut perubahan ‘urf pada suatu zaman atas perubahannya.[5]
B.     Kontribusi ‘Urf ( Dalam Fikih Indonesia)
Dalam perkembangan fikih Indonesia ‘urf mempunyai kontribusi yang sangat signifikan karena lahirnya fikih indonesia sendiri berawal dari suatu pemahaman pemikir (Hasbi ash-shiddieqy) yang dimana fikih adalah prodak hokum para ulama, yang dimana para fuqoda menggagas suatu produk hokum sesuai dengan kultur budaya masyarkat. Seperti kita kita ketahui fikih yang ada sebellum-sebelumnya yaitu fikih yang lahir di arab, oleh fuqoda arab, yang mestinya sesuai dengan kultul arab. Oleh sebab itu kultul dan budaya arab yang berbeda membuat para pemikir dan penggagas hokum di tanah air ada ini siatif dengan gagasan baru yaitu fikih Indonesia yang sesuai dengan kultur budaya banggsa Indonesia.
Dalam sejarah, islam teryata ragamnya. Salah satu diantaranya sekian banyak warna, aliran, mazhab islam itu, antara lain, adalah; islam modernism dan fundamentalisme itu sendiri juga banuyak ragamnya, tidak hanya satu dan pasti.[6]Dalam keberagaman pemikiran islam di Indonesia ada suatu hal yang menarik unutk kita cermati yaitu nilai-nilai ‘urf  dalam kehidupan masyarakat sangatlah berpengaruh dalam pembentukan hukum yang dapat berlaku secara efektif tanpa adanya pertentangan dengan kebudayaan dan kebiasaan ( Adat/’urf).
Konsep pemikiran seperti ini menjadi alasan timbul suatu pemikran baru yaitu tentang fikih Indonesia yang mencoba menyatuhkan antara ‘urf dan hukum positif serta pastinya penyatuan dan keselarasan kepada hukum islam itu sendiri. Sehingga lahirnya fikih Indonesia timbul adanya kegelisahan para pemikir hukum islam untuk bisa menyatuhkan hukum islam dengan kebiasaan atau hukum adat/positif di Indonesia. Dan agar menjadi kondifikasi yang sekiranya dapat menampung kepentingan berbagai kalangan yang berkaitan dengan hukum (mu’amallah), karena sesungguhnya konsep pemikiran ini dapat disatukan akan menjadi suatu kondifikasi hukum progresif.
Konsep dan pemikran fikih Indonesia ini terlahir dari berbagai permasalah diataranya yang terjelaskan diatas dan juga adanya pandangan masyarakat tidak lagi menggunakan fikih klasik lagi di karenakan, pertama, Umat Islam kurang mengenal dan memahami syari’at kedua, Mayoritas umat Islam Indonesia adalah berkategori Islam abangan, ke-tiga, Tidak ada pembaharuan fiqh klasik, ke-empatAdanya pengaruh Barat.[7]
Untuk menyelamatkan fikih, para pemikir dan tokoh islam membuat suatu trobosan baru dengan adanya fikih Indonesia yang dimana latar belakang munculnya fikih Indonesia sebagai berikut ini, pertama, Fikih klasik banyak yang tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia, kedua, Fikih klasik banyak yang tidak bisa menjamin keadilan bagi manusia Indonesia, ke-tiga, Fikih sudah dianggap usang sehingga tidak dijalankan oleh manusia Indonesia, ke-empat, Masyarakat Indonesia lebih banyak yang menggunakan hukum adatdan Barat daripada hukum Islam[8].
            Salah satu latar belakang lahirnya fikih Indonesia yaitu masyarakat indonesai lebih banyak yang menggunakan hukum adat(‘urf) dan barat dari pada hukum islam. Hukum adat di Indonesia masih kental, hukum adat juga mempunyai kedudukan hukum yang diakui secara konstitusi dan kontribusinya dalam kehidupan masyarakat Indonesia sangatlah terlihat jelas yang terjadi di daerah-daerah dan masyarakat masing-masing wilayah di Indonesia.
Dalam langkah penyelamatan fikih di Indonesia yaitu dengan cara-cara berikut ini, pertama, Membuka kembali pintu ijtihad, kedua, Melakukan ijtihad ulang terhadap fiqh dalam urusan muamalah, ke-tiga, Membuat berbagai macam teori untuk mendialogkan antara agama dengan budaya masyarakat,ke-empat Berjuang untuk menegakkan nilai-nilai syari’at dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[9]
Dalam langkah penyelamatn fikih sperti yang dikemukan oleh para tokoh islam yaitu dengan adnaya dialog anatar agama dengan budaya (‘urf) masyarakat. Karena sesungguhnya ‘urf yang berkembang dalam kehidupan masyarakt plural di indonesaia masih butuh dialog panjang lagi, pertayannya apakah setiap budaya yang ada dapat dijadikan hukum yang dapat mencakup kepentingan secara umum, tanpa ada pertentangan dengan hukum islam dan Negara pancasila (UUD 1945)? Sekiranya dalam budaya dan berkembang bersifat positif dan dapat dijadikan unifikasi hukum/ fikih indonesai ini dapat menjadi awal dan langkah baik agar masyarakat dapat lagi melaksanan dari isi fikih dan tidak meninggalkan fikih yang menjadi produk hukum di buat oleh fuqoda, oleh karean itu sebenarnya fuqoda haruslah membuka pintu ijtihad lagi selebar-lebarnya agar fikih klasik yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman tidak berlaku dan fikih dengan adanyta fikih Indonesia dapat mempebaruhinya dengan hal-hal yang relevan degan konteks masyarakat zaman saat ini, dan ketika demikian kemungkinan fikih dapat terlahir kembali dalam kehidupan masyarkat indoesia.
Sungbangsi ‘urf dalam fikih Indonesia sangatalah berpengaruh karena ‘urf adalah cirri dan cermin dari masyarakat Indonesia. Ketika suatu hukum dalaam masyarakat sama dengan kultur dan budaya dalam masyarakat tersebut otomatif akan mengahasilkn hukum yang dapat menjadikan tatanan hukum dan politik kondusif.
 Al-Urf bagi sebagian besar ulama’ merupakan landasan bagi penetapan hukum. Hal ini diakui oleh mazhab-mazhab besar seperti kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyyah. Mereka menggunakan al-‘urf sebagai landasan hukum Islam dalam banyak persoalan. Para imam madzhab bersepakat bahwa hukum yang dibentuk berdasarkan pada al-‘urf bertahan selama al-‘urf masih dipertahankan oleh suatu masyarakat.[10]
Sudah semestinya masyarakat dan negara Indonesia menjadi masyarakat dan modern. Hukum modern itu bukan hukum belanda, melainkan hukum yang berisi asas-asas modern universal.[11]Dengan menjadikam ‘urf salah satu landasan Hukum yang di kondifikasikan dalam disiplin ilmu fikih indonesisia.
Dalam hukum modern diperlukan suatu aturan yang dimana dalam pengaturannya ini dapat menampung dari keinginan social masyarakat atau hukum adat, kebiasaan(‘urf). Dengan demikian hukum modern akan tercipta dalam suatu tatanan masyarakt ketika ‘urf ( adat) dapat terkondifikasi dengan baik. Tapi bukan berarti melepaskan aspek-aspek yang lain dalam pembuatan hukum, yang penting suatu peraturan hukum tidak melanggar dari norma-norma dan nilai –nilai universal dalam masyarakat. Dan juga harus patuh dan menjunjung tinggi dari dasar Negara kita yaitu pancasila dan UUD 45’ yang sudah menjadi landasa hukum nasional. Juga demikan dengan fikih Indonesia yang hadir dari gelisahan hukum ingin berkontribusi dalam mewujudkan dai hukum modern dalam suatu tatanan masyarakat.
C.      Kontribusi ‘Urf  dan Sungbangsi Dalam Reformasi Hukum Nasional.
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu kebiasaan atau adat yang berkembang dalam kehidupan mereka keseharian-harinya. Hal ini tentu, seperti adat dapat berlaku menjadi suatu hal yang harus dilakukan dalam kehidupan masyarakat (Hukum Adat), yang tentunya terikat dalam kebiasaan tersebut.


[1]Abdul Wahhab Khllaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta, CV. Rajawali, 1991).   Hal. 133
[2] Abdul Wahhab Khllaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), (Jakarta, CV. Rajawali, 1991). Hal. 135
[3] Abdul Wahhab Khllaf, Ibid,,,,, hal. 136
[4] Syekh abdul wahab al khallaf, Ilmu usul fikih, (Jakarta, PT. melton putra A, 1986) hal. 106
[5] Abdul Wahhab Khllaf, Ibid,,,,, hal.136-37
[6] M. Arief Hakim, jejak-jejak islam politik, ( Jakarta, Departemen Agama Ri, 2004) hal. 207
[7] Khoirul Anam Fikih Indonesia(Jogjakarta, Materi Kuliah Fak, Syaria’ah & Hukum UIN-Suka, 2021)
[8] Khoirul Anam, fikih Indonesia, ibid,,,,
[9] Khoirul Anam, fikih Indonesia, ibid,,,,
[10]Mustatho’, Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13 April 2021
[11] Imam Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar ( Yogyakarta, liberty, 2021) hal. 95
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url