KUALIFIKASI DAN RENVOI DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


KUALIFIKASI DAN RENVOI DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

PENGERTIAN KUALIFIKASI
Di dalam proses pengambilan keputusan yuridis, kualifikasi adalah tindakan yang praktis selalu diterapkan. Hal ini kiranya merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan, karena untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapi, mendefinisikannya dan menempatkannya ke dalam suatu kategori hukum tertentu. Di dalam hukum internasional, kualifikasi merupakan sebuah proses berfikir yang logis guna menempatkan konsepsi asas-asas dan kaidah-kaidah hukum ke dalam sistem hukum yang berlaku. Di dalam Hukum Perdata Internasional, kualifikasi lebih penting lagi, karena di sini kita diharuskan memilih salah satu sistem hukum tertentu.[1]

Macam-Macam kualifikasi di dalam HPI
Seperti halnya hukum perdata internasional lainnya, di dalam Hukum Perdata Internasional juga diperlukan kualifikasi. Fakta-fakta harus berada di bawah kategori hukum tertentu (subsumption of facts under categories of laws). Dengan demikian, fakta-fakta diklasifikasikan, dimasukkan dan dikategorikan ke dalam kelas-kelas pengerian hukum yang ada, dengan kata lain fakta-fakta dikarakteristikkan. Di dalam Hukum Perdata Internasional, selain fakta-fakta tersebut, kaidah hukumpun perlu dikualifikasikan (classification of law).[2]

Dari uraian di atas, maka di dalam HPI dikenal dua macam kualifikasi, yaitu:[3]
1. Kualifikasi fakta (classification of facts). Kulifikasi fakta adalah kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan kategori hukum dan kaidah-kaidah hukum dan sistem hukum yang dianggap seharusnya berlaku.
2.      Kualifikasi hukum ( classification of law). Kualifikasi hukum adalah penggolongan pembagian seluruh kaidah hukum ke dalam pengelolaan atau pembidangan kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dengan demikian, proses kualifikasi di dalam HPI mencakup langkah-langkah sebagai berikut :[4]
1.      Kualifikasi sekumpulan fakta dalam suatu perkara ke dalam kategori yang ada;
2.      Kualifikasi sekumpulan fakta itu ke dalam kaidah-kaidah atau ketentuan tertentu yang seharusnya berlaku (lex causae).

Pentingnya Kualifikasi dalam HPI
Di dalam HPI, masalah kualifikasi merupakan salah satu masalah yang sangat penting, karena dalam suatu perkara  HPI selalu terjadi kemungkinan pemberlakuan lebih dari satu sistem hukum untuk mengatur sekumpulan fakta tertentu.[5]

Kenyataan ini menimbulkan masalah utama, yaitu dalam suatu perkara HPI, tindakan kualifikasi harus dilakukan berdasarkan sistem hukum mana dan apa di antara pelbagi sistem hukum yang relevan.[6] Masalah kualifikasi dalam HPI menjadi lebih rumit dibandingkan dengan proses kualifikasi dalam persoalan-persoalan hukum intern nasional lainnya, karena:[7]
1.  Pelbagi sistem hukum seringkali menggunakan terminologi yang serupa atau sama, tetapi untuk menyatakan hal yang berbeda. Misalnya, istilah domisili dalam hukum Indonesia berarti tempat kediaman tetap (habita residence), sedangkan dalam hukum inggris, domisili dapat berrati domisili of origin, atau domicile of choice.
2.      Pelbagi sistem hukum mengenal konsep atau lembaga hukum tertentu, yang ternyata tidak dikenal dalam sistem hukum lain. Misalnya lembaga trust yang khas dalam hukum inggris, atau lembaga pengangkatan anak yang dikenal dalam hukum adat.
3.   Pelbagi sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara faktual pada dasarya sama, tetapi dengan menggunakan kategori hukum yang berbeda. Misalnya: seorang janda yang menuntut hasil dari sebidang tanah warisan suaminya, menurut hukum Perancis dianggap sebgai masalah “pewarisan”, sedangkan di Inggris dianggap sebagai masalah “hak janda untuk menuntut bagian dari harta perkawinan”.
4.  Pelbagi sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama. Misalnya: masalah peralihan hak milik yang berbeda antara hukum perancis dan hukum Belanda.
5.      Pelbagai sistem hukum menempuh proses atau prosedur yang berbeda untuk mewujudkan atau menerbitkan hasil atas status hukum yang pada dasarnya sama. Misalnya: suatu perjanjian baru dianggap mengikat bila dibuat secara bilateral (hukum inggris) atau dimungkinkan adanya perjanjian sepihak (indonesia =BW). Masalah-masalah khas tersebut, sebenarnya dapat dipersempit menajdi dua masalah utama yaitu bahwa dalam kualifikasi HPI terdapat masalah-masalah :[8]
a.       Kesulitan menentukan kategori apa sekumpulan fakta dalam perkara harus digolongkan
b.      Apa yang harus dilakukan apabila dalam suatu perkara tersangkut lebih dari satu sistem hukum, dan masing-masing menetapkan cara kualifikasi yang berbeda,

sehingga timbullah konflik kualifikasi. Jadi, masalah utama yang dihadapi adalah berdasarkan sistem hukum apa kualifikasi dalam suatu perkara HPI harus dilakukan

Teori Kualifikasi
Menurut Sudargo Gautama secara garis besar terdapat tiga macam teori kualifiakasi, yaitu[9]:
1.      Teori kualifikasi menurut Lex Fori
2.      Teori kualifikasi menurut Lex Cause
3.      Teori kualifikasi yang dilakukan secara Otonom berdasarkan metode perbandingan hukum.

Masing-masing teori atau aliran tersebut di atas mempunyai pendukung atau pembela masing-masing yang tidak kurang termashurnya dari yang lain.[10]
1.      Kualifikasi menurut Lex Fori
Menurut teori yang ditokohi franz Khan (Jerman) dan Bartin (Perancis) ini, kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil pihak hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan (lex fori), pengertian hukum yang ditemukan kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut sistem hukum negara sang hakim sendiri. Para penganut teori Lex Fori umumnya sependapat, bahwa terhadap beberapa kualifikasi yang disebut bahwa ini dikecualikan dari kualifikasi yang disebut di bawah ini dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu:[11]
a.       Kewarganegaraan;
b.      Benda bergerak dan benda tidak bergerak;
c.       Suatu kontrak yang ada pilhan hukumnya
d.      Konvensi-konvensi internasional (bila negara yang bersangkutan turut serta dalam hal tersebut);
e.       Perbuatan melawan hukum;
f.       Pengertian-pengertian yang digunakan mahkamah-mahkamah internasional.

Sisi positif dalam teori ini adalah kaidah-kaidah hukum lex fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah diselesaikan. Akan tetapi juga memiliki kelemahan, di mana dapat menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan ukuran yang tidak sama sekali dikenaloleh sistem hukum asing tersebut.

2.      Kualifikasi menurut Lex Cause
Teori semula dikemukakan Despagnet kemudian diperjuangkan lebih lanjut oleh Martin Wolff dan G.C. Cheshire.

Teori ini beranggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukumu yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah-kaidah HPI mana dari lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, abrulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum pa diantara kaidah lex fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara.[12]

3.      Kualifikasi Otonom
Kualifiaksi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada. Teori ini memang ideal sekali, tetapi di dalam praktek hal tersebut sukar dilaksanakan, karena :[13]

a.       Menemukan dan menetapkan pengertian hukum yang dapat dianggap sebagai pengertian yang berlaku umum adalah pekerjaan yang sulit dilaksanakan, bila tidak mau dikatakan sebagai tidak mungkin. Dalam penerapannya, susah untuk bersifat general.
b.      Hakim yang akan menggunakan kualifiaksi yang demikian ini haruslah mengenal semua sistem hukum di dunia, agar ia dapat menemukan konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia.
Dalam hal ini dapat dikualifikasikan dalam teori bertahap atau primer dan sekunder.

RENVOI
Persoalan revoi erat sekali kaitannya dengan persoalan prinsip nasionalitas atau domisili dalam menentukan status personal seseorang.

Renvoi Dalam Hukum Perdata Internasional Kata penunjukkan dari penunjukkan kembali mempunyai pengertian:[14]
1. Penunjukkan yang dimaksud ke arah kaidah-kaidah hukum intern ( sachnormen ) saja dari suatu sistem hukum tertentu disebut: sachnormverweisung. ( Hukum intern saja hukum asing).
2. Penunjukkan yang diarahkan ke sistem hukum asing, termasuk kaedah-kaedah HPIdari sistem hukum asing tersebut: gesamtverweisung. ( Kaidah intern + HPI ).

Macam-Macam Renvoi ( Lanjutan ):
1. Penunjukkan kembali ( simple renvoi/ remission renvoi ). Yaitu penunjukkan olehkaedah HPI asing kembali ke arah lex fori.
2. Penunjukkan lebih lanjut ( minimal 3 hukum asing ). Yaitu kaedah HPI asing yangtelah ditunjuk oleh lex fori bisa menunjuk kembali ke arah lex fori tapi menunjuk lebihlanjut ke arah sistem hukum asing lain

Syarat-syarat terjadinya RENVOI di dalam Hukum Perdata Internasional[15]
1.   Adanya suatu perbedaan di dalam sistem hukumnya.
2.   Adanya suatu penunjukan keseluruhan sistem hukum negara asing termasuk kaedah hukum perdata internasional (gesamptveweisung).
3.   Adanya  suatu penunjukan lebih lanjut ke sistem hukum internasional negara ke-3 / penunjukan kembali ke sistem hukum Lex fori (sachnormverweisung) 

Dalam keberagaman sistem hukum di dunia, dikenal 2 asas, yakni asas nasionalitas dan asas domisili. Masalah renvoi (penunjukan kembali) kemudian muncul sebagai akibat dari perbenturan asas tersebut. Pertanyaan yang juga bisa timbul terkait masalah renvoi ini adalah soal kualifikasi. Apakah hukum yang nanti diberlakukan itu adalah hukum intern ataukah HPI di Indonesia, atau mungkinkah hukum intern atau HPI dari negara lain yang diberlakukan.

Selain itu, penerapan untuk kasus yang bisa dianggap serupa juga timbul perbedaan. Penerapan berbeda itu karena pada beberapa negara juga tidak semuanya menerima renvoi ini. Dengan kata lain, sejumlah negara memiliki kecenderungan menolak renvoi. Untuk itu kita harus bisa mengetahui negara mana yang memiliki kecondongan menerima dan mana pula yang punya kecenderungan menolak. Untuk Indonesia, pada beberapa praktek administratif ternyata telah menunjukkan bahwa negeri ini telah menerima renvoi. Berikut keberadaan renvoi di sejumlah negara:
1.      Perancis Diketahui sejak ada peristiwa Forgo, menunjukkan bahwa di Perancis telah menerima Ronvoi, namun sejumlah pengamat menyebutkan bahwa ada kecondongan renvoi ditolak di negara ini.
2.      Italia Umumnya renvoi ditolak. Pengaruh teori Mancini menunjukkan bahwa di Italia ada hasrat melindungi diri dari HPI asing.
3.      Jerman Jerman memiliki kecondongan ke arah penerimaan.
4.      Swiss Secara tegas, tidak ada aturan tentang renvoi tetapi memiliki kecenderungan ke arah penerimaan.
5.      Nederland Menurut yurisprudensinya, umumnya renvoi ditentang tetapi di sana-sini tetap ditemukan keputusan yang dianggap menyimpang.
6.      Negara Asia-Afrika Diantaranya yang menerima atau mengakui keberadaan renvoi yakni Tiongkok, Thailand, dan Jepang. Sedang Mesir menolak, karena dalam Code Civil Mesir tahun 1948 dinyatakan bahwa penunjukan pada hukum asing dianggap penunjukan kepada kaidah intern materil dan kaidah HPI asing dikesampingkan.
7.      Negara-negara Anglo Saxon Seperti Inggris, ada kecenderungan kea rah penerimaan.
8.      Amerika Serikat Tak ada aturan tertulis. Tapi ada kecondongan menolak. Terkecuali persoalan yang berkenaan dengan titel tanah diatur dimana tanah itu terletak, termasuk kaidah HPI negara bersangkutan. Pun tentang sahnya perceraian, ini ditentukan domisili para pihak termasuk kaidah HPI-nya.
9.      Negara-negara sosialis
Ada kecenderungan menerima misalnya saja di Moscow.
Berikut ini beberapa contoh kasus yang dapat dikategorikan berkenaan masalah renvoi:
- Kasus in re Annesley (Davidson v. Annesley tahun 1926)
Annesley seorang wanita berkewarganegaraan Inggris (British subject). Ia meninggal di Perancis tahun 1924. Sehingga menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Perancis.
Tahun 1919, wanita ini telah membuat surat wasiat dalam bentuk hukum Inggris. Dalam suratnya, sedemikian rupa dibuat sehingga anak lelakinya harus kehilangan hak warisnya. Di Inggris ini dibolehkan. Sedang di Perancis dikenal legitima portio bahwa sang anak sekurang-kurangnya menerima sepertiga bagian dari harta warisan.
Lantas hukum yang mana yang akan digunakan, apakah dari Inggris atau Perancis? Menurut hukum bersangkutan, maka kasus ini melihat dari domisili wanita tersebut. Oleh karena itu, hukum Perancis yang harus digunakan. Sedang dalam hukum Perancis, asas yang digunakan adalah asas nasionalitas. Maka hukum yang berlaku dari warga negara asing adalah hukum negaranya, dalam hal ini Inggris. Tetapi dari Inggris menunjuk kembali kepada hukum Perancis yaitu hukum domisili.
Lalu setelah Perancis menerima renvoi ini, apakah kemudian hukum intern Perancis yang akan digunakan? Hakim lalu menyelidiki HPI Perancis soal renvoi. Dan kemudian menurut hakim ini, kasus tersebut akan memakai hukum intern Perancis. Oleh karena itu, hakim Russel yang mengadili perkara juga menggunakan hukum intern Perancis.
Berdasarkan itu, maka wewenang dari Annesley untuk membuat surat wasiat harus dibatasi.
- Kasus in re Ross (Ross v. Waterfield)
Janet Anne Ross, wanita berkewarganegaraan Inggris. Meninggal di Italia tahun 1927. Ketika ia meninggal, maka diketahui menurut hukum Inggris, domisilinya adalah di Italia. Ia telah hidup di Florence sejak tahun 1888, yakni tahun dimana ia membeli sebuah rumah besar nan mewah yang terkenal dengan nama Poggio Gherardi. Tahun 1902, suaminya meninggal terlebih dahulu. Tidak ada kesangsian bahwa keduanya meninggal dengan domisili di Italia. Sewaktu Janet meninggal di tahun 1927, barulah surat wasiatnya dipersoalkan. Dalam semua wasiatnya, harta kekayaannya jatuh kepada tergugat Caroline Lucy Isabel Waterfield, sedangkan kepada anak laki-lakinya tidak diwariskan apa-apa.
Penggugat mengklaim bahwa dirinya berhak atas ½ benda tak bergerak di Italia dan ½ benda tidak bergerak yang berada di wilayah manapun. Dalam hukum Italia juga dikenal legitima portio. Sedang Inggris tidak. Tetapi yang jadi soal adalah hukum mana yang akan diberlakukan.
Luxmoore J. yang mengadili perkara ini menimbang bahwa kasus ini harus diadili sebagaimana masalah ini diselesaikan oleh badan-badan peradilan di Italia. Jika menunjuk kepada hukum di Italia. Maka itu akan termasuk di dalam hukum intern serta kaidah HPI yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini Italia. Sehingga surat wasiat tetap dianggap sah. Karena kenyataannya, menurut doktrin hukum di Italia, renvoi tidak diterima. Maka pada kasus ini, kenyataannya gugatan penggugat tidak berhasil dengan kata lain penggugat tetap tidak mendapatkan apa-apa.[16]


[1] Ridwan Khairandy dkk, pengantar hukum perdata internasional ( Gama media, Yogyakarta, 1999)hal. 45
[2] Sudarto Gautama, Hukum perdata Internasional, jidid kedua bagian kedua(buku3), (Eresco, bandung 1998) hal.167
[3] Ridwan Khairandy dkk , ibid,,,Hal.46
[4] Ridwan Khairandy dkk , ibid,,,Hal.47
[5] Ridwan Khairandy dkk , ibid,,, Hal.47
[6] Bayu seto, Dasar-dasar hukum perdata internasional, buku satu, (Citra aditya Bakti, Bandung, 1992) hlm.4
[7] Sudarto Gutama, ibid,,, hal.180
[8] Sudarto Gutama, ibid,,, hal.180
[9] Sudarto Gutama, ibid,,, hal.182
[10] Ridwan Khairandy dkk , ibid,,,Hal.51
[11]Ridwan Khairandy dkk , ibid,,, Hal.51
[12] Ridwan Khairandy dkk , ibid,,,Hal.53-54
[13] Ridwan Khairandy dkk , ibid,,,Hal.54
[14] http;// Renvoi-Dalam-Hukum-Perdata-Internasional.htm  diakses pada 15-05-2021jam 12.10

[16] http;// RENVOI-Hkm-Perdata-Internasional.htm diakses pada 15-05-2021jam 12.10



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url