KARAKTER PRODUK HUKUM ORDE LAMA 1945-1955

PENDAHULUAN.
Suatu karakter produk hukum sangat berkaitan dengan kondisi politik dan dinamika yang terjadi dalam masyarakat pada waktu itu. Mengapa demikian?Karena karakter produk hukum dalam suatu bangsa akan terbentuk sesuai dengan keinginan dari masyarakat ataupun dari kepentingan politik. Dalam tatanan hukum di Indonesia karakter produk hukum mengacu kepada tujuan suatu Negara(tujuan bangsa dan tujuan Negara itu subtansinya sama, hanya saja tujuan Negara sering kali dianggap bersifat konstitutif karena dirumuskan secara resmi di dalam pembukaan UUD 1945[1]) yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 secara definitive tertuang di dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang meliputi: 
a.    Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b.    Memajukan kesejahteraan umum;
c.    Mecerdaskan kehidupan bangsa
d.    Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasaarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.

Tujuan Negara harus diraih oleh Negara sebagai organisasi tertinggi yang berdasarkan pancasila dan UUD 45'. Dalam hal ini produk dan karaktek politik hukum dipengaruhi politik. Karena alasan bahwa hukum itu adalah produk politik yang pastinyatidak steril dari kepentingan-kepentingan politik anggota-anggota lembaga pembuatnya.[2]Oleh sebab itu tidak jauh beda dengan kondisi pada tahun 1945-1955 juga demikian kondisinya, karena pada saat itu masih banyak kepentingan-kepentingan Colonial Belanda yang masih tertanam apalagi di perkuat tidak siapnya Negara untuk merdeka dengan membuat produk hukum sendiri, dan demi mengisi kekosongan yang ada setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia, dengan terpaksa produk hukum Colonial Belanda banyak diadopsi dan digunakan oleh Negara Indonesia. Bahkan sampai detik ini, masih banyak produk hukum zamam colonial belanda yang masih digunakan dalam hokum positif. Dan bisa juga kita ketahui ada juga tarik ulur kepentingan yang lain berkaitan dengan produk hukum yang mana akan dilaksanakan.

Perlu kita sadari semua hal ini juga tidak terlepas kondisi dan dinamika masyarakat pada waktu itu, yang mempunyai perdedaan dari beberapa golongan agama, ras, ideology, dan lain-lain.Dalam makalah ini penulis akan sedikit mencoba membahas dari keadaan pada tahun 1945-1955, dimana dalam kajian ini lebih focus pada kajian karakter produk hukum nasional.

PEMBAHASAN
A.    KONFIGURASI POLITIK (ORDE LAMA)
Dinamika hukum dan politik di Indonesia pada awalnya memang bermula dari ketidak sepahaman, yakniperdebatan dari para founding fathers untuk menggagas tujuan dan dasar dari negara.Hal ini tidak lepas dari perbedaan pandangan politik dan konsep tentang ketatanegaraan untuk negeri ini. Proses politik hukum pada saat itu melahirkan dasar negara Pancasila dan UUD 1945. Hal ini menjadi salah satu atau kemungkinan karakteristik bangsa Indonesia yang murni dihasilkan dari para pendiri bangsa.

Pada periode 1945-1959, konfigurasi politik yang tampil adalah konfigurasi politik yang demokratis.Kehidupan politik pada periode ini dicirikan sebagai demokrasi liberal.[3] Di dalam konfigurasi yang demikian tampak bahwa partai-partai memainkan peranan yang sangat dominan dalam proses perumusan kebijakan Negara melalui wadah konstitusinalnya, yakni parlemen.[4]

Seiring dengan itu lembaga eksekutif berada pada posisi yang "kalah kuat" dibandingkan dengan partai-partai sehingga pemerintah senantiasa jatuh bangun dan keadaan politik berjalan secara tidak stabil.[5]Kebebasan pers bila dibandingkan dengan periode-periodelainnya, dapat dikatakan berjalan secara baik; bahkan pada periode Demokrasi Liberal inilah peraturan sensor dan pembredelan yang berlaku sejak zaman hindia belanda dicabut secara resmi.[6] 

Pada zaman periode Demokrasi Liberal, Konstitusi tertulis kita UUD 1945 menganut Demokrasi sebagai prinsip dan mekanisme kenegaraan. Namun pada awal kemerdekaan prinsip demokrasi itu tidak dapat diwujudkan ke dalam pembentukan lembaga-lembaga dengan demokrasi seperti adanya MPR dan DPR. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa negara yang baru merdeka ini kesulitan membentuk lembaga-lembaga negara karena keadaan masih darurat dan suasana revolusi sehingga bangsa kita sulit menentukan orang untuk menduduki lembaga-lembaga formal demokrasi, apalagi lembaga demokrasi  itu harus dibentuk oleh rakyat melalui pemilu yang ketika itu belum mungkin dilakukan. Itulah sebabnya pasal IV aturan peralihan UUD 1945 menyebutkan bahwa presiden dengan dibantu sebuah komite nasional indonesia, memegang kekuasaan MPR, DPR, dan DPA sebelum ketiga lembaga tersebut dapat dibentuk sesuai dengan ketentuan UUD.

B.     KARAKTERISTIK PRODUK HUKUM (ORDE LAMA)
Karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan dengan konfigurasi politik.Meskipun kapasitasnya bervariasi, konfigurasi politik dengan demokratis senantiasa diikuti oleh produk hukum yang responsive atau otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter senantiasa disertai oleh munculnya hukum-hukum yang berkarakter konservatif dan ortodoks. Secara lebih rinci perkembangan karakter produk hukum yang mengikuti perkembangan konfigurasi politik yang diuraikan di bawah ini :
a.    Hukum tentang Pemilu
b.    Hukum tentang Pemda
c.    Hukum tentang Agraria

Praktek parlementarisme ini kemudian dianut lagi didalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menggunakan Konstitusi RIS 1945 sebagai Konstitusinya. Meskipun sebenarnya sistem parlementer berdasar konstitusi RIS ini tidaklah murni karena, misalnya DPR tidak dapat menjatuhkan pemerintah dengan mosi berhubung keadaan masih darurat,tetapi lembaga-lembaga demokrasi dapat bekerja relatif efektif. Sistem parlemen ini kemudian dikuatkan lagi di dalam negara Kesatuan Republik Indonesia yang kembali dianut sejak 17 Agustus 1950 dengan menggunakan UUDS 1950. Berdasarkan UUDS 1950 inilah indonesia menyelenggarakan pemilihan umum yang sangat demokratis yang didasarkan atas UUDS 1950, dan hal ini memang telah melahirkanpemerintahan yang “mau tidak mau” harus bertanggung jawab.Penegakan hukum relatif lebih berjalan baik bila dibandingkan periode-periode sesudahnya.Pemerintah dapat menerima kontrol baik dari kekutan masyarakat melalui pers yang relatif bebas. Inilah periode perjalanan negara Republik Indonesia yang dinilai paling demokratis .[7]

Meskipun bukan hasil akhir, ini menandai partai Islam tidak lagi dihitung sebagai kekuatan yang menakutkan, seperti halnya pada tahun-tahun awal Indonesia merdeka dan Pemilu 1955. Kalau merujuk hasil penelitian Herbert Feith tahun 1945–1955, kekuatan politik sangat dipengaruhi lima aliran politik yang kini hanya tersisa, Islam dan nasionalis. 

Herbert Feith menyatakan bahwa sumber utama pemikiran politik di Indonesia ada lima aliran politik, yaitu komunisme yang melahirkan Partai Komunis Indonesia, sosialisme demokrat dengan memunculkan Partai Sosialis Indonesia, Islam––dengan variannya melahirkan Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam, dan Partai Nahdlatul Ulama, nasionalisme radikal yang tercermin pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI), serta tradisionalisme Jawa meskipun tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang konkrit. 

Indonesia dibangun dengan basis lompatan yang luar biasa. Coba catat: Dalam sepuluh tahun yaitu: 1945-1955 Indonesia bisa memimpin Bangsa-Bangsa Asia Afrika menemukan identitas nasionalnya, dalam sepuluh tahun Indonesia mampu menjadikan sebuah negara dengan sistem masyarakat yang saling bergesek tapi menuju pada arah persatuan yang solid. Namun lompatan besar sepuluh tahun itu terganggu oleh konstelasi politik Internasional yaitu: Tatanan Dunia Berdasarkan Blok, yaitu“Blok Kanan dan Blok kiri”.Pada dasarnya kedua blok ini adalah Imperialis, inilah yang mendasari Tan Malaka untuk mengucapkan kalimat terkenalnya: “Kita tidak mau menjadi budak Imperialis Amerika pun tidak mau menjadi Budak Moskow” lalu berdasarkan analisa ini maka Sukarno di tahun 1953, pada sebuah malam yang dingin ketika ia membaca buku-buku geopolitik dan mendalami lagi Ernest Renan, maka ia berkesimpulan : “Langkah Pertama adalah menyelamatkan wilayah modal Republik, langkah selanjutnya adalah mendefinisikan pola Imperialisme baru sehingga kita bisa mendeteksinya sekaligus menciptakan gerakan perlawanannya”.
1)      Hukum tentang Pemilu
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante.Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo.Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.

Pada masa setelah kemerdekaan, Indonesia menganut system multi partai kurang lebih berjumlah 25 partai.Hal tersebut juga bisa  dilihat dari bermunculannya partai-partai baru baik yang minoritas maupun mayoritas yang disinyalir sebagai jembatan aspirasi rakyat. Hal ini ditandai  dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Dalam maklumat 3 November 1945 itu disebutkan bahwa atas usul BP-KNIP kepada pemerintah maka pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik.Dictum Maklumat ditanda tangani Wapres Moh. Hatta berbunyi sebagai berikut :
a)      Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat.
b)      Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. Menyusul maklumat tersebut berdirilah secara resmi partai-partai politik yang sampai bulan Januari 1946 berjumlah 10 partai yaitu : Majelis Muslimin (Masyumi) 7 November 1945, Partai Buruh Indonesia (PBI) 8 November 1945, Partai Rakyat Jelata 8 November 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 10 November 1945, Partai Sosialis Indonesia (PSI) 10 November 1945, Partai Rakyat Sosialis (PRS) 8 Desember 1945, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) 17 Desember 1945, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) 17 Desember 1945. Sumber lain menyebutkan jumlah partai yang berdiri menyambut maklumat 3 November 1945 bukan hanya 10 partai, melainkan jauh lebih banyak, sebab selain muncul partai-partai kecil, partai-partai yang telah dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit lagi.

Jumlah partai yang berdiri pada November-Desember 1945 mencapai 35 partai berdasarkan asas kedaerahan, agama, ideology, dan lain-lain. Di antara partai tersebut terdapat partai-partai yang berdasarkan basis ideology dan dalam daerah yang sama. Tetapi pada umumnya mereka tidak saling menggabungkan diri.Kenyataan tersebut menyebabkan banyak partai sulit menggalang kekuatan organisasi untuk menyerap aspirasi masyarakat.Soedjatmoko menyebutkan keadaan itu sebagai ‘gambaran’ gejolak mental dan psikologis, ketimbang penegasan diri yang didasarkan pada pandangan dan sikap politik tertentu.

Jumlah partai yang banyak dengan system proporsional pada keanggotaan KNIP menyebabkan membengkaknya jumlah anggota KNIP yang pada gilirannya menyebabkan pula timbulnya pengaruh lembaga legislative yang semakin kuat kepada pemerintah.Mula-mula timbul pendapat dikalangan partai-partai bahwa KNIP maupun kabinet tidak representatif karena tidak mencerminkan aliran-aliran yang ada di dalam masyarakat.Dengan berkurangnya jumlah parpol, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi.
Berikut hasil Pemilu 1955:
·         Partai Nasional Indonesia (PNI) - 8,4 juta suara (22,3%)
·         Masyumi - 7,9 juta suara (20,9%)
·         Nahdlatul Ulama - 6,9 juta suara (18,4%)
·         Partai Komunis Indonesia (PKI) - 6,1 juta suara (16%)

2.      Hukum tentang pemerintahan (otonomi) daerah
Pada era pemerintahan rezim Soekarno yang kemudian disebut orde lama (1945-1966), ditandai sebagai era yang penuh gejolak, baik pemberontakan di daerah-daerah  yang menuntut pemisahan diri seperti RMS (Republik Maluku Selatan), Permesta, pemerintahan karena ideologi Republik Indonesia (PRRI) maupun yang memberontak karena ideologi seperti PKI di Madiun, DI/TII Kartusuwiryo di Jawa Barat, yang kemudian meluas ke Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan.

Di lain pihak, era pemeritahan orde lama diwarnai dengan perubahan konstitusi  yang dengan sendirinya akan mempengaruhi sistem pemerintahan yang ditetapkan di daerah-daerah. Sebagaimana telah diketahui, bahwa era 1945-1949 bangsa Indonesia masih bergelut melawan Belanda dengan sekutunya yang ingin menjajah kembali Indonesia. Dilahirkan dua UU yang mengatur pemerintahan daerah, yang pertama yaitu UU No. 1 Tahun 1945 tentang kedudukan peraturan mengenai komite nasional daerah UU ini sangat singkat, yang hanya memuat enam pasal yang ditetapkan ada tanggal 23 November 1945. UU No. 1 Tahun 1945 mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah), sebagaimana kita ketahui bahwa pada masa awal kemerdekaan setelah proklamasi, bangsa Indonesia belum memiliki perangkat kenegaraan yang memadai, sehingga diaturlah bahwa pada masa awal kemerdekaan KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) menyelenggarakan semua tugas-tugas lembaga kenegaraan, sampai terbentuknya lembaga negara seperti yang dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan ini dapat dibaca dalam Pasal III aturan  peralihan UUD 1945 yang berbunyi:
“Sebelum majelis permusyawaratan rakyat, dewan perwakilan rakyat dan dewan pertimbangan agung dibentuk menurut undang-undang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan komite nasional”.

Yang pertama, UU No. 1 Tahun 1945 sukar diterima oleh daerah-daerah di luar jawa dan Madura, mengingat situasi saat itu, Daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta di Solo pun juga tidak diatur secara jelas, mengingat pemerintah pusat pada saat itu masih menghargai keberadaan kedua daerah tersebut, yang tetap diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, walaupun dengan berbagai pembatasan dan intervensi.

Kemudian yang kedua, pada saat pemerintahan republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta, pada tanggal 10 Juli tahun 1948, dikeluarkanlah UU No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah. Undang-undang ini langsung dinyatakan berlaku oleh pemerintah Indonesia pada hari itu juga.UU ini tidak mendapatkan pengesahan dari DPR sebagai yang diatur dalam UUD 1945, tetapi oleh BP-KNIP. UU No. 22 Tahun 1948 memuat hal-hal sebagai berikut:
1.      Pemerintah daerah dinyatakan terdiri atas DPRD dan DPD (Pasal 2:1)
2.      Kepala daerah menjabat ketua DPD (Pasal 2:3)
3.      Anggota DPD dipilih oleh dan dari anggota DPRD. Apabila anggota DPD berhenti dari keanggotaannya sebagai DPRD, maka dengan sendirinya yang bersangkutan juga berhenti dari keanggotaan DPD atau sebaliknya.
4.      DPRD yang membuat pedoman untuk DPD guna mengatur cara menjalankan kekuasaan dan kewajibannya, yang sebelum diberlakukan harus mendapatkan persetujuan Presiden (pasal 15)
5.      DPRD mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU Pembentukan bagi tiap-tiap daerah (Pasal 23)
6.      Sekretaris Daerah tidak dikenal, yang ada adalah sekretaris DPRD, yang merangkap sekretaris DPD, yang diangkat dan diberhentikan oleh DPRD, atas usul DPD (pasal 20).

Dari enam poin tersebut di atas, dapat dicermati bahwa dalam UU No. 22 tahun 1948 tentang pemerintahan daerah, kewenangan DPRD sangat besar, dan dengan mudah dapat kita tarik kesimpulan, bahwa UU No. 22 tahun 1948 dibuat dengan sistem parlementer. Sebab kewenangan kepala daerah sangat minimal, bila dibandingkan dengan kewenangan kepala daerah dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah.

Selain itu, dalam UU No. 22 tahun 1948, juga diatur dengan tegas dalam pasal 26, bahwa DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya dihadapan pemerintah dan DPR. Dengan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa pemerintah pusat saat itu sangat menghargai keberadaan daerah.Padahal anggota-anggota DPR juga merupakan wakil rakyat yang juga dipilih dari daerah-daerah.Selain itu dalam pasal 27 UU No. 22 tahun 1948, juga mengatur bahwa daerah-daerah dapat mengadakan kerjasama.

Dengan demikian yang dapat ditarik dari UU otonomi daerah ini adalah:
  1. Sangat menghargai keberadaan daerah-daerah sebagai satu kesatuan masyarakat yang berbudaya dan memiliki karakteristik sendiri-sendiri
  2. Kekuasaan kepala daerah diminimalkan yang dikedepankan adalah kekuasaan DPRD
  3. Memiliki nuansa parlementer. Dengan demikian sebenarnya tidak sejalan dengan UUD 1945 yang mengantu asas Presidensil. Walaupun demikian penyimpangan ini mungkin karena masih dalam masa awal kemerdekaan.
Walaupun demikian UU No. 22 tahun 1948 tetap berlaku sampai keluarnya UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, meskipun pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda dengan pihak Indonesia yang diwakili oleh Drs. Moh. Hatta telah mengambil kesepakatan tentang pembentukan negara Indonesia serikat (RIS) dengan pemerintahan Belanda. Dan Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RIS kecuali Irian Jaya yang akan diserahkan kemudian, sikap mempertahankan Irian dan sikap mengalahnya pemerintah Indonesia atas kesepakatan menyangkut Irian Jaya inilah yang kemudian menjadi kemelut yang hingga kini tetap menjadi problem diantara sebagian masyarakat Irian Jaya dengan pemerintah Indonesia.

Sejak tanggal 27 Desember 1949 dengan sendirinya Indonesia berbentuk negara serikat, walaupun baru diumumkan lembaran negara oleh pemerintah RI pada tanggal 6 Februari 1950. Pengaturan tentang pemerintahan daerah, diatur berdasarkan keberadaan negara-negara bagian yang untuk lebih jelasnya dapat dicermati dalam pasal 2 Konsultasi Republik Indonesia Serikat.

Menyangkut pemerintahan daerah, dalam kurun waktu 1950-1959, pemerintah tidak mengeluarkan satu UU yang mengatur tentang pemerintahan daerah, hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam pasal 131, 132 dan pasal 133 UUDS 1950. Dalam ketiga pasal tersebut ditegaskan antara lain:
  1. Peraturan perundangan yang ada di daerah-daerah sebelumnya tetap berlaku sampai ada penggantinya
  2. Pemerintah akan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah
  3. Mempertegas kedudukan daerah-daerah Swapraja (bekas kerajaan yang pemerintahannya memiliki kekhususan).
Dengan demikian UU No. 22 Tahun 1948 yang hanya berlaku di wilayah republik Indonesia dinyatakan tetap berlaku, demikian pula UU No. 44 tahun 1950 yang berlaku di wilayah Indonesia timur juga tetap berlaku  serta peraturan-peraturan peninggalan Belanda yang ada di daerah-daerah lainnya. UU No. 32 tahun 1956 tentang pertimbangan keuangan antara negara dengan daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, yang diundangkan pada tanggal 31 Desember 1956.Dalam dictum mengingatnya UU No. 32 tahun 1956 ini, tercantum antara lain UU No. 22 tahun 1948, dan UU No. 44 tahun 1950.Dengan demikian sampai tahun 1956, pengaturan pemerintahan daerah masih berjalan sendiri-sendiri sesuai keadaan sebelumnya.Sampai dengan keluarnya UU No. 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintah daerah.

Dengan demikian pelaksanaan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah orde lama, dapat disimpulkan bahwa utamanya pada saat UU No. 1 tahun 1945, dan UU No. 22 tahun 1948 dan UU No. 1 tahun 1957 daerah-daerah masih diberi keleluasaan yang besar untuk berotonomi, akan tetapi pasca Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959 pemerintahan daerah telah bernuansa sangat sentralisasi.

3.      Hukum tentang Agraria
Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.Bahkan dalam batas-batas yang ditentukan juga ruang angkasa.Kaidah-kaidah Hukum agraria yang berlaku sebelum tahun 1960 bersumber pada dua dua hokum, yaitu hukum adat dan kitab undang-undang hokum sipil (hukum barat).

Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakan pejabat-pejabat dari berbagai kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari serikat buruh perkebunan. Ada beberapa panitia yang dilibatkan, yaitu panitia Yogyakarta, panitia Jakarta, panitia Soewahjo, rancangan soenarjo, dan rancangan Sadjarwo.

Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah.[8]Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”.Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya.Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba.

Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI.Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan.Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya.Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan penerapan yang bertahap.Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan Undang-Undang Pokok Agararia menjadi anggotaanya.[9]

Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah.[10]Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan.[11]Perombakan aturan tentang agrarian berhasil setelah disyahkannya undang-undang nomor 5 tahun 1960 yang mengatur tentang agraria.

KESIMPULAN
Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan karakter produk hukum tertentu.Variabel ”konfigurasi politik” ditempatkan sebagai variabel bebas (independent), dan variabel ”karakter produk hukum” sebagai variabel terpengaruh (dependent). Variabel konfigurasi politik menunjuk pada bentuk konfigurasi sistem politik yang demokratis dan/atau konfigurasi sistem politik yang tidak demokratis (otoriter).Sedangkan variabel karakter produk hukum, mengacu pada konsepsi Nonet dan Selznick yang merujuk pada produk hukum yang berkarakter responsive atau otonom, dan karakter produk hukum yang represif, ortodoks, konservatif atau menindas.

Menurut Mahfud MD dalam buku disertasinya yang berjudul “"Politik Hukum di Indonesia", berkesimpulan bahwa Pada periode 1945-1959 (demokrasi liberal), konfigurasi politik Indonesia adalah demokratis, dan kecenderungan karakter semua produk hukum (pemilu, pemda, agraria) adalah responsif.
Dengan kata lain, sebagaimanapun keadaan suatu negara, hukum yang mampu diciptakan akan terus dan selalu berkaitan dengan situasi perpolitikan Negara tersebut. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi.Pada periode 1945-1959, meskipun pernah berlaku sampai tiga macam UUD (UUD 1945 dan UUDS 1950), kehidupan politik berjalan secara demokratis meskipun jika dilihat dari sudut UUD 1945 (Aturan Peralihan Pasal IV) pada awal perjalanannya kehidupan politik Negara sangat memusat ditangan Presiden. Dan kemudian seiring perkembangannya, kekuasaan tidak lagi terpusat di tangan presiden.Sehingga dapat dikatakan, pada orde lama, tahun 1945-1955 penerapan hukum di Indonesia dalam kaitan karakter produk hukumnya adalah responsive.


DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Buku
-          Fauzi, Noer, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999.
-          C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai pustaka, Jakarta 1986.
-          Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1998 Forum Keadilan, No. 2, 14 Mei 1992.
-          Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
-          Mahfud M.D. 1993. Perkembangan Politik Hukum di Indonesia, disertasi doctor di UGM, Yogyakarta.
___________. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta, Liberty.





Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url