PENYIMPANGAN PERKAWINAN

1.1  Penyimpangan perkawinan
Dalam pasal 7 ayat (1) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berbunyi “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dan pada ayat (2) berbunyi “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”
Secara mendasar, Pasal 7 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mendorong lebih luas terjadinya perkawinan anak terutama dengan menggunakan frasa penyimpangan tanpa ada penjelasan yang lebih rigid terhadap penyimpangan tersebut. Argument terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan sudah dijelaskan dengan baik, untuk itu perlu pengetatan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) terutama pengetatan frasa penyimpangan dan penghapusan frasa pejabat lain. Oleh karenanya banyak terjadinya perkawinan di bawah umur yang menimbulkan dampak, yaitu:[1]
1.   Dampak terhadap hukum
Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:
a.    UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
·         Pasal 7 (1) UU No.1 Tahun 1974 : Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
·         Pasal 6 (2) UU No.1 Tahun 1974 : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
b.   UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
·         mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.
·         menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan.
·         mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
2.   Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.
3.   Dampak Psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
4.   Dampak Sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
5.   Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2 menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.
2.1  Faktor pendorong penyimpangan perkawinan
Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita yaitu :[2]
1.   Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.
2.   Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.
3.   Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
4.   Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.
5.   Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
3.1  Upaya Mencegah Terjadinya penyimpangan Perkawinan
Pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa batrang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya dikawini, apabila mengakibatkan luka-luka berat diancam paling lama empat tahun, jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana paling lama dua belas tahun.
Namun perlu deketahui bahwa masalah perkawinan adalah masalah perdata. Kalaaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, sering kali penylesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib kluarga, atau kesulitan dalam dalam menghadirkan alat bukti.
Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan dibawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabilah pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahanya dihadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan Sipil).
Otomatis pernikahan yang tidak tercatat dilembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan. Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.
Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga  bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti suran nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan kluarga, dan lain-lain.[3]
Jadi, upayah pencegahan pernikahan dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila angota masyarakat turt serta berperan aktif dalam upaya pencegahan pernikahan anak dibawah umur. Sinergi antara pemerintah dan msyarakat merupakan langkah terbaik yang diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir pernikahan anak dibawah umur. Control sosial masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingag ke depanya anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban pernikahan usia muda,tetapi memiliki masa depan yang cerah untuk mraik cita-citanya.



[1] Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992
[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, 1981
[3] http://sosiologihuku.blogspot.com

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Penyimpangan perkawinan