PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS PEMILU

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pemilihan umum atau Pemilu merupakan pesta demokrasi bangsa Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 2021 yang lalu. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang menetapkan Joko Widodo dan Yusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2021-2021, serta pemilihan legislatif yang juga dilakukan pada tahun 2021 untuk memilih DPR, DPRD dan DPD. Namun dari pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif ini banyak menimbulkan permasalahan yang sangat komplkes.
Berbagai pemberitaan media massa juga dapat diketahui oleh publik bahwa telah terjadi berbagai pelanggaran dalam proses pelaksanaan Pemilu Legislatif, seperti kekacauan mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT), banyaknya warga negara yang kehilangan hak pilihnya, money politic, tertukarnya surat suara, masalah logistik Pemilu, dan sebagainya.
Salah satu semangat reformasi adalah mendemokratiskan Pemilu yang pada masa lalu, yaitu Pemilu-pemilu era Orde Baru (Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992 dan Pemilu 1997), Pemilu sekedar sebuah ritual politik lima tahunan yang penuh rekayasa politik otoritarian yang dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemilu (electoral laws) dan dalam proses pelaksanaan Pemilu (electoral process), sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan Pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan “seolah-olah Pemilu” yang hasilnya sudah bisa ditebak, yakni sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.
Masalahnya adalah apakah berbagai pelanggaran, baik pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana Pemilu dalam Pemilu Legislatif 2021 tersebut telah sedemikian seriusnya, sehingga telah merusak prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis dan berkualitas yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil Pemilu. Bagaimana mekanisme atau prosedur hukum untuk menyelesaikannya, apakah Pemilu dapat dibatalkan secara keseluruhan, serta institusi peradilan manakah yang berwenang untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tersebut.[1]
Realita dalam kehidupan hukum yang melibatkan Mahkamah Konstitusi sepanjang tahun 2021 sangat dinamis dan variatif. Penegakan hukum oleh Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan harapan masyarakat. Sebagai lembaga peradilan, Mahkamah Konstitusi mampu merebut perhatian masyarakat karena penanganan perkara dilakukan dengan cara yang cepat, transparan dan berteknologi modern. Masyarakat dapat mengikuti persidangan melalui media video conference, atau melalui siaran langsung Televisi untuk kasus yang menjadi perhatian publik. Ditambah lagi putusan dalam persidangan tersebut dapat diakses masyarakat hanya dalam tempo 15 menit setelah dibacakan oleh hakim kontitusi. Inilah sebabnya masyarakat memiliki ekspetasi dan kepercayaan besar kepada Mahkamah Konstitusi.    
Mahkamh Konstitusi selama ini telah menunjukan eksistensinya sebagai lembaga peradilan yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, antara lain:”memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” (Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) huruf D UU No.8 Tahun 2021 perubahan atas undang-undang No.24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).[2]
Dalam Penyelenggaran Pemilu Legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden Tahun 2021, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak Peserta Pemilu dan Pihak Penyelenggara Pemilu serta Pengawas Pemilu yang tidak bisa ditindaklanjuti oleh sistem Peradilan Umum. Dikarenakan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang unggul, didalam lingkup peradilan kita. Aparat penegak hukum kita mulai dari Kepolisian, kejaksaan dan Para hakim yang belum mengetahui secara komperhensif mengenai peraturan-peraturan kepemiluan serta ketatanegaraan sehingga dalam beberapa kasus pelanggaran pemilu tidak dapat diselesaikan secara  baik.
Mencuatnya isu pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dalam pembahasan amandemen UU Pemilu yaitu UU No. 8 tahun 2021 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun 2021 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2021 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang pasal 157 ayat (1) yang berbunyi “perkara perselisihan hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh badan peradilan khusus”,  memancing reaksi pro dan kontra dari berbagi pihak. Hal ini tentulah sangat wajar dalam pandangan demokrasi mengingat kebebasan berpendapat merupakan salah satu fondasi dasar untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Namun lebih dari pada itu, rasionalisasi untuk melihat persoalan secara hakiki bukanlah hal yang kemudian harus dikesampingkan dalam kebebasan berpendapat. Karena perdebatan akan mustahil untuk menemukan sebuah titik temu yang solutif apabila perdebatan terhadap sebuah hal menghilangkan aspek-aspek rasionalitas dan hanya mengedepankan ego satu kelompok saja.
Gagasan pembentukan Peradilan Khusus Pemilu harus melalui berbagai pertimbangan sistem ketatanegaraan. Sebab maraknya pembentukan peradilan khusus ternyata bertentangan dengan UU No. 48 Tahun 2021 tentang kekuasaan kehakiman yang telah membuat kebijakan. Oleh karena itu, ide pembentukan peradilan khusus pemilu inipun harus jelas jenis pemilu yang akan diselesaikan perkaranya beserta kewenangan perkaranya termasuk pidana, perdata, atau tata usaha negara. Sehingga akan lebih jelas pula dimana perkara tersebut pada akhirnya bermuara.
2.1  Rumusan Masalah
1.      Apa alasan yang mendasari pembentukan pengadilan khusus pemilu?
2.      Apa alasan ketidak setujuan pembentukan pengadilan khusus pemilu?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Alasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu
Ide pembentukan peradilan khusus terutama sangat berkembang di masa setelah reformasi, terutama untuk maksud memenuhi tuntutan perkembangan akan keadilan yang semakin kompleks dalam masyarakat. Bahkan, setiap kali selalu saja muncul ide-ide baru untuk membentuk pengadilan khusus lainnya yang pada umumnya dimaksudkan untuk lebih mengefektifkan upaya penegakan hukum, di bidang-bidang tertentu.[3]
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Mengenai wewenang mengadili pada tingkat pertama, terdapat 3 rujukan:
1.  Keputusan MA No.7K/Sip/1967, antara lain menyatakan: “ yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan (fakta) adalah hakim dan hanyalah judex facti saja”.
2.   Pendapat R.Subekti: “.....seluruh segi pemeriksaan perkara (baik fakta maupun hukumnya) sebagai judex facti dilakukan oleh Pengadilan Negeri.....”.
3. Pasal 29 ayat (1) UUNo.48 tahun 2021 tentang kekuasaan kehakiman “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir...”
Dari kutipan tersebut, maka yang berwenang menilai suatu fakta dalam pembuktian judex facti adalah Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengaturan fungsi Mahkamah Konstitusi dalam wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk memutus PHPU berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan pasal 10 ayat (1) d UU No. 8 tahun 2021 tentang Mahkamah Konstitusi adalah sebagai Judex Facti. Dengan demikian wewenang Mahkamah Konstitusi dalam hal PHPU tersebut bukan wewenang pengujian formil maupun materil.[4]
Salah satu kendala yang menyebabkan ingin dibentuknya peradilan khusus adalah sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang ‘final and binding’ (final dan mengikat). Suatu putusan yang bersifat final merefleksikan tertutupnya hak dari yang berkepentingan untuk melakukan upaya hukum lainnya sejak putusan selesai diucapkan di persidangan.
Mengenai putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, penjelasan pasal 10 ayat 1 UU MK menegaskan: “putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh”. Konsekuensi dari putusan “Final and Binding” dalam pasal 10 ayat 1 UU MK tersebut, mengandung makna bahwa perlindungan yang diberikan kepada pemohon tidak tuntas, karena begitu mengajakan permohonan putusan akhir yang bersifat final.
Jika MK sudah memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dna terakhir yang bersifat final and binding, apabila dalam suatu peristiwa muncul bukti baru (novum) yang dapat membuktikan sebaliknya setelah putusan Mahkamah Konstitusi diterbitkan tetapi terhadap novum tersebut tidak dapat ditempuh upaya penyelesaiannya atau tidak dapat mengajukan peninjauan kembali (judicial review) karena sifat dari pengadilan MK itu sendiri final and binding.
Berbeda halnya dengan perkara di Mahkamah Agung yang masih memberi kesempatan pada pemohon untuk mengajukan peninjauan kembali (judicial review) bila ada novum. UU MK tidak memberikan kesepempatan kepada para pihak untuk mengajukan upaya hukum karena berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak mengenal teori novum.[5]
Dalam prakteknya, pada pemilu legislatif tahun 2021 terhadap suatu perkara di suatu dapil, salah satu contoh dari kekacauan tersebut terjadi di Kabupaten Bangkalan Kecamatan Bangkalan Kelurahan Pangeranan tepatnya di TPS 6 dimana banyak warga yang tidak mendapatkan hak pilih, dan oknum-oknum tertentu yang melakukan kampanye kotor dengan cara memberikan uang kepada masyarakat setempat. Permaslahan logistik juga menjadi faktor kekacauan pemilu tahun 2021 tersebut, di TPS 6 tersebut tidak mendapatkan alat tulis dan tinta yang seharusnya memang sudah disiapkan sebelumnya.
Lemahnya kompetensi para hakim di sejumlah pengadilan negeri dan tinggi saat menangani kasus-kasus pemilu, khususnya tindak pidana pemilu, mendorong daerah berharap pemerintah membentuk suatu pengadilan yang khusus menangani pemilu.[6]
Seiring berjalannya waktu terdapat pergulatan argumen ketika muncul gagasan/ide untuk membentuk Pengadilan khusus Pemilu. Gagasan ini menuai pro dan kontra dikalangan praktisi dan akademisi. Beberapa alasan mendasar mengenai ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu diungkapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo yakni banyak sekali kasus pelanggaran pemilu baik bersifat administratif maupun mengandung unsur pidana dan kedudukan Mahkamah Konstitusi) seolah-olah seperti “keranjang sampah” karena semua persoalan sengketa pemilu bermuara ke sana. Hal ini adalah implikasi dari tidak efektifnya mekanisme penanganan kasus-kasus pelanggaran pemilu pada tahap sebelum bergulir ke MK. Pembentukan peradilan khusus adalah karena kekecewaan masyarakat atas kinerja lembaga peradilan fungsional yang selama ini ada.[7]
Bagi mereka yang pro dengan pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu menyatakan bahwa pentingnya Pembentukan lembaga ini dikarenakan tidak optimalnya mekanisme penyelesaian sengekta Pemilu yang ada di Indonesia saat ini. Kita tahu, bahwa sejak Mahkamah Konstitusi didirikan dan diberikan kewenangan untuk memuutus sengketa hasil pemilihan umum, hal ini tentu membawa angin segar bagi penegakan demokrasi di Indonesia.
Mengingat sebelumnya kita tidak pernah mengenal adanya istilah “sengketa Pemilu” dikarenakan tidak ada lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan ini. Maka dahulu perselisihan hasil suara dalam Pemilu tidak dianggap sebagai sebuah “persengketaan”. Faktor lain yang juga menjadi alasan pihak yang pro terhadap pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu adalah bahwa ini lebih kepada bagaimana menciptakan peradilan Pemilu yang tidak hanya mempertimbangkan persoalan waktu persidangan akan tetapi lebih kepada mencapai keadilan substantif.
Menurut mereka ini juga dapat meringankan beban yang ada di Mahkamah Konstitusi, mengingat bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak hanya untuk memutus sengketa perselisihan suara hasil Pemilu saja. Dan juga masalah yang terjadi dalam Pemilu akan tetapi juga mncakup masalah pidana. Yang mana persoalan pidana saat ini merupakan kompetensi dari Pengadilan Tinggi di masing-masing daerah Pemilu.
2.2  Alasan Ketidak Setujuan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu
Merujuk pada fungsi peradilan, pada wewenang penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU), Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai judex facti, yaitu: pemeriksaan dan penilaian terhadap suatu perkara dari segi hukum dan fakta atau peristiwa. Pengaturan fungsi Mahkamah Konstitusi ini tampak dalm wewenang memutus perselisihan hasil pemilu pada pasal 24C ayat (1)UUD NRI 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK, yaitu:”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final”.[8]
Ide pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu yang merupakan usulan pertama dari ketua Badan Pengawas Pemilu yaitu Muhammad yang fungsinya untuk mengadili semua perkara pemilu baik perkara hasil pemilu, pelanggaran administrasi, pelanggaran etik sampai pelanggaran pidana merupakan sebuah ide yang tidak solutif terhadap permasalahan pemilu yang ada di Indonesia saat ini. Bahwa sebenarnya akar permasalahan munculnya kisruh seputar pemilihan umum dapat dibagi menjadi faktor eksternal dan internal.
Faktor eksternal adalah kinerja KPU yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan Bawaslu yang cenderung tidak dapat berbuat maksimal dalam mengawasi jalannya pemilu dikarenakan Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sebuah keputusan yang bersifat eksekutorial.
Dari segi internal adalah persoalan moralitas KPU, Bawaslu dan para calon yang tidak sadar akan prinsip-prinsip demokrasi. Moralitas KPU dan Bawaslu cenderung tidak idealis terhadap prinsip-prinsip demokratisasi di Indonesia. Bahwa kesadaran untuk mewujudkan General Walfare (Garis kejujuran yang umum) bagi masyarakat Indonesia bukanlah sebuah kesadaran yang terlembagakan di KPU dan Bawaslu padahal posisi dari pemilu sangat menentukan bagaimana pemerintahan Indonesia lima tahun kedepan.
Begitupun para calon yang seolah melihat celah unttuk mengajukan gugatan setiap mereka kalah, padahal banyak gugatan yang diajukan hanya berdasarkan karena hasratnya yang tidak dapat menerima kekalahan.
Karena pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu justru akan berdampak pada pangalokasian aggaran yang tidak semestinya. Karena pembentukan lembaga baru pastilah membuat alokasi anggaran baru di Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD) yang mana seharusnya anggaran tersebut dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan dan ekonomi daripada harus dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah pemilu yang hanya dikarenakan ketidak tanggapan aparat birokrasi dalam melaksanakan tugasnya.
Adapun reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan cara mengganti semua aparat-aparat KPU dan Bawaslu yang terbukti melanggar independensi kedua lembaga tersebut. Dan mengadakan pelatihan khusus tindak pidana pemilu bagi hakim-hakim yang saat ini bertugas untuk menyelesaikan sengketa pemilu.
Dan juga amandemen undang-undang dan perubahan tata cara penyelesaian sengketa pemilu baik di Mahkamah Konstitusi yang bertugas menyelesaikan perselisihan suara hasil pemilu maupun Peradilan Umum yang mengadili tindak pidana pemilu.[9]
Peradilan Khusus Pemilu di Indonesia belum tepat dibentuk. Hal ini secara pokok dilandasi belum jelasnya sistem ketatanegaraan dalam UUD NRI 1945 yang mengatur tentang Pemilu yang menimbulkan belum adanya kejelasan mengenai penentuan jenis pemilu (Pemilukada atau Pemilu Legislatif dan Presiden & Wakil Presiden) serta kewenangannya apakah Pidana, Perdata, atau Tata Usaha Negara.[10]
BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
           Pada intinya ide untuk mendirikan pengadilan khusus pemilu banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat maupun dikalangan pejabat negara. Mereka yang menyetujui untuk dibentuknya peradilan khusus pemilu dikarenakan banyaknya pelanggaran yang terjadi baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran yang lainnya, dan para pihak yang setuju dengan hal tersebut karena melihat terlalu banyak perkara ynag masuk ke MK sehingga MK seperti dijadikan sebagai “Keranjang Sampah” oleh pihak-pihak yang merasa dirinya dirugikan dalam proses pemilihan umum.
Namun bagi mereka yang tidak menyetujui pembentukan pengadilan khusus pemilu ini, mereka menilai bahwa Pengadilan pemilu itu hanya menghasilkan election dispute(sengketa pemilu) yang sudah menjadi wewenang MK dan pembentukan pengadilan khusus pemilu ini justru akan berdampak pada pangalokasian aggaran yang tidak semestinya. Karena pembentukan lembaga baru pastilah membuat alokasi anggaran baru di APBD.
DAFTAR PUSTAKA
Mukthie Fadjar, 2021, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.1.
Jimly Asshiddiqie, 2021, Pengadilan Khusus, Putih Hitam Pengadilan Khusus, KY RI, Jakarta.
Nunuk Nuswardani, 2021, Problem Konstitusional Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (Prmilukada) Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi PKK FH Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1.
Lilis Khalisotussurur, Menakar Pengadilan Khusus Pemilu?,http://www.gresnews.com/berita/hukum/22091-menakar-kemungkinan-pengadilan-khusus-pemilu/, diakses pada Minggu 26 April 2021, pukul 11:09 WIB
Esthi Maharani , MK Tidak Proses 312 Perkara PHPU 2021,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/07/01/n815fa-mk-tidak-proses-312-perkara-phpu-2021, diakses pada Minggu 26 April 2021, pukul 11:09 WIB
[1]A. Mukthie Fadjar, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Jurnal Konstitusi, Vol.6 No.1, 2021, hal:1-2
[2]Nunuk Nuswardani, PROBLEM KONSTITUSIONAL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PRMILUKADA) MAHKAMAH KONSTITUSI, Jurnal Konstitusi PKK FH Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1, 2021, hal:83-84
[3]Jimly Asshiddiqie, Pengadilan Khusus, Putih Hitam Pengadilan Khusus, KY RI, Jakarta, 2021, hal:11-12
[4]Unuk Nuswardani, PROBLEM KONSTITUSIONAL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PRMILUKADA) MAHKAMAH KONSTITUSI, Jurnal Konstitusi PKK FH Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1, 2021, hal:89-90
[5]Ibid, hal:95-96
[6]Lilis Khalisotussurur, Menakar Pengadilan Khusus Pemilu?http://www.gresnews.com/berita/hukum/22091-menakar-kemungkinan-pengadilan-khusus-pemilu/  diakses tanggal 26 April 2021, pukul 11:09 WIB
[7]Ibid
[8]Nunuk Nuswardani, PROBLEM KONSTITUSIONAL PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH (PRMILUKADA) MAHKAMAH KONSTITUSI, Jurnal Konstitusi PKK FH Univ. Trunojoyo, Vol.1 No.1, 2021, hal:89
[9] Lilis Khalisotussurur, Menakar Pengadilan Khusus Pemilu?http://www.gresnews.com/berita/hukum/22091-menakar-kemungkinan-pengadilan-khusus-pemilu/  diakses tanggal 26 April 2021, pukul 11:09 WIB
[10] Esthi Maharani , MK Tidak Proses 312 Perkara PHPU 2021,http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/07/01/n815fa-mk-tidak-proses-312-perkara-phpu-2021  diakses tanggal 26 April 2021 pukul 14:19 WIB

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu