Buah Cinta dari Arena Keadilan dalam Konsep Ukhuwah NU

Buah Cinta dari Arena Keadilan dalam Konsep Ukhuwah NU
oleh:
(Ketua PAC IPNU Kecamantan Kalidawir Kab. Tulungagung)


Ukhuwah dalam Bernegara

Masih saja terngiang di telinga alunan lagu religi dari grup legendaris Nasidaria yang "diputer" nyaring di acara halal bi halal Keluarga Besar MWC NU Kalidawir kemarin. Nadanya hafal, cuman lirik yang tepat bagaimana lupa. Pada intinya, lagu itu bercerita tentang seorang anak yang melanggar aturan, kemudian oleh ayahnya tetap diberi hukuman meskipun sang ibu terus saja membela.
Lagu yang kedengaran sederhana. Namun justru dari kesederhanaan itu terdapat hal luarbiasa. Nadanya khas dan tepat. Liriknya padat dan syarat akan makna.
Keadilan memang terkadang memaksa. Tentu bukan perkara mudah bagi seorang ayah menghukum anak sendiri setelah tahu anak itu bersalah. Setidaknya mesti terjadi dilema dalam batin antara rasa kasih sayang dengan tuntutan seorang pendidik yang harus mengajarkan dan menegakkan keadilan. Terlebih --bagi seorang Muslim-- dikuatkan oleh salah satu riwayat hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. pernah menegaskan bahwa:

"jika pun yang melanggar aturan adalah Siti Fatimah, anak tersayang, saya tetap akan menjatuhkan hukuman yang semestinya".

Berpijak pda cerita dan hadis di atas mari dibawa untuk meneropong perkara yang lebih besar. Misalkan terjadi perseteruan antar kelompok tertentu. Taruhlah, kelompok tersebut antara Muslim dan non-Muslim. Apabila terjadi kasus seperti ini, kecenderungan hati yang sekelompok (seagama) Islam pasti akan membela Muslim, meskipun belum tahu para Muslimin berada di kubu yang salah atau yang benar. Padahal bisa jadi yang menyalahi terlebih dahulu justru adalah kelompok Muslim. Namun, karena dalam mind set orang Islam sudah tertanam bahwa Islam agama yang paling benar dan antara muslim satu dengan yang lain bersaudara menjadikannya "baper" dan "kesusu" membela kelompok Muslim. Padahal jelas beda antara Islam dengan sekelompok orang beragama Islam (muslim). Islam memang tidak mengajarkan kejahatan, kesalahan, ataupun kesesatan. Akan tetapi, sekelompok orang Islam tentu sangat bisa melakukan kesalahan. Dari sinilah perlu kejelian dalam memandang prilaku perseorangan atau kelompok. Jangan sampai hanya karena ikatan batin atau ikatan institusi maupun organisasi menjadikan "baper" dan tidak adil dalam pembelaan.
Berangkat dari kasus semacam itu, penting bagi kita memahami kebijakan ulama NU tentang maksud dari adanya empat ukhuwah: ukhuwah nahdliyah, ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basyariyah. Untuk ukhuwah nahdliyah dan islamiyah, sepertinya sudah mafhum. Asal ketika terjadi percekcokan antara umat nahdliyin atau antar Islam sebagai kewajiban adalah mendamaikannya. Atau saat kita berseteru dengan kelompok Islam lain, jangan sampai melupakan bahwa mereka juga saudara kita. Sebagai contoh relevan salahsatunya adalah dawuh dari KH. Maimun Zubair kepada umat Islam khususnya kaum Nahdliyin untuk tidak membenci HTI meski keduanya berideologi berbeda. HTI memang tidak sama dengan NU. Akantetapi, bagaimanapun mereka adalah saudara seiman. Tugas kita untuk menjelaskan kepada mereka utamanya tentang pentingnya ideologi Pancasila dan NKRI demi kemaslahatan daripada ideologi Khilafah.
Kemudian, terkait ukhuwah wathaniyah kurang lebih sama. Siapa saja meski berbeda agama, suku, ras, budaya dan sebagainya asalkan dia adalah orang Indonesia berarti kita bersaudara. Di masa lalu dalam kisah perjuangan merebut kemerdekaan bangsa ini mudah ditemukan bagaimana bentuk ukhuwah wathaniyah. Terkadang sejarah perjuangan kemerdekaan bisa membuat orang terbelalak, karena kelompok yang sekarang sering disesatkan sehingga tersisih, dulu berada dalam satu perjuangan dalam bingkai ukhuwah wathaniyah. Sejarah kecil tentang hubungan akrab antara KH. A. Wahid Hasyim dengan Ahmad Djoyo Soegito dan juga Tan Malaka bisa dijadikan cerminan. Tiga tokoh ini adalah para founding fathers NKRI. Mereka tidak pernah bermusuhan meski berangkat dari latarbelakang ideologi dan keagamaan yang berbeda. KH. A. Wahid Hasyim dari NU, Ahmad Djoyo Soegito dari Ahmadiyah, sedangkan Tan Malaka daru kubu kiri (kominis), sering berdiskusi dalam mendirikan bangsa ini tanpa menuduh sesat atau kafir satu sama lain. Maka dari itu dari sudut pandang ukhuwah wathaniyah, ironis bila kelompok Ahmadiyah secara politis disisihkan eksistensinya dari bangsa ini, dengan label kafir sesat dan sebagainya.
Contoh yang lebih elegan tentang ukhuwah wathaniyah adalah sebagaimana yang telah di praktikkan oleh Gus Dur. Saat beliau menjabat sebagai Presiden, berusaha dilengserkan oleh beberapa pihak. Bahkan termasuk tokoh utamanya adalah orang yang mengusungnya menjadi presiden, yakni Amin Rais. Sebagai ketua MPR, Pak Amin waktu itu menjalin settingan dengan Ibu Megawati selaku Wakil Presiden untuk melengserkan tahta Gus Dur dengan berbagai cara, (Dalam bahasa Rizal Mumaziq ini sama dengan "kudeta halus"). Hingga akhirnya Gus Dur berhasil dilengserkan. Pada waktu itu suhu sosial-politik bangsa ini sempat memanas. Para pendukung Gus Dur, termasuk yang terbesar masyarakat Nahdliyin, sudah bersiap untuk melawan "kudeta halus" tersebut. Namun, apa yang terjadi. Gus Dur dengan santai menerima pemakzulan itu. Beliau keluar dari istana dengan menanggalkan seluruh atribut kepresidenannya, mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Begitu tenang Gus Dur menyuruh semua kalangan yang menuntut untuk pulang, dan tidak perlu ada bentrok satu sama lain. Ketika ditanya tentang mengapa Gus Dur melakukan itu semua, Beliau menjawab bahwa beliau tidak mau terjadi pertumpahan darah antar saudara sebangsa. Beliau pun juga menegaskan tentang prinsipnya bahwa, "tidak ada jabatan di dunia ini yang patut untuk dipertahankan".
Itulah Gus Dur. Beliau bukan sosok yang haus kekuasaan. Dapat dibayangkan, apabila Gus Dur tidak mau lengser, pasti kisruh politik dan sosial di negeri ini terjadi. Kemauan Gus Dur untuk lengser tersebut, tentu disebabkan keluasan pemikiran beliau sehingga mewujud juga pada kelapangandadaanya. Beliau tidak hanya memiliki jiwa ukhuwah Nahdliyah atau Islamiyah saja. Andai hanya dua ukhuwah itu yang berada di jiwa Gus Dur, tentu beliau akan mempertahankan kekuasaan, sebab umat nahdliyin sebagai kekuatan "Muslim mayority" baik yang struktural maupun kultural banyak yang setia dan fanatik mendukung. Coba dibayangkan lagi, apabila Gus Dur berideologi kaku, misalnya berideologi khilafah dan meyakini hanya sistem khilafah yang benar selain itu salah, maka tentu Gus Dur pada saat pemakzulan akan teriak "takbir", tidak terima dan menyuruh para pengikutnya melawan dengan dalih kebenaran 'mutlak' politik khilafah. Namun tidak begitu. Bapak bangsa ini tidak mungkin tega membenturkan rakyat satu sama lain. Bapak bangsa ini tidak hanya mengenal persaudaraan sesama NU saja atau sesama Islam saja. Melampaui keduanya, beliau mengajarkan kepada bangsa Indonesia khususnya umat Islam tentang persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah. Perdamaian dan kerukunan dibawah naungan bangsa lebih utama daripada sekadar mempertahankan kekuasaan. Inilah termasuk bentuk politik kebangsaan yang juga menjadi watak politik NU semenjak lama.
Satu lagi ukhuwah yang lebih universal adalah ukhuwah basyariyah. Bentuk persaudaraan yang terjalin dari persamaan bahwa antara aku, kamu, dan dia sama-sama manusia. Atau dalam bahasa agama digunakan istilah: sama-sama makhluk Allah. Ukhuwah ini sifatnya "telanjang", dalam arti lepas dari berbagai atribut identitas seperti kelompok, bangsa, agama, usia, profesi, dan sebagainya. Atau dalam bahasa kerennya, Islam yang memiliki kesadadaran ukhuwah basyariyah adalah "Islam Kosmopolitan", yang menyatakan dirinya sebagai warga negara dunia, menjunjung tinggi kemanusiaan, dan menolak adanya diskriminasi antar manusia. Inilah yang juga menjadi karakter NU.
Ukhuwah yang "telanjang" ini secara sederhana dapat dicontohkan dengan kasus tabrak lari di jalan. Melihat kejadian tabrak lari, bagi orang yang memiliki kesadaran ukhuwah basyariyah, sekonyong-konyong langsung menolong saja tidak perlu menghiraukan identitas apa pun yang dimiliki si korban. Tidak juga repot bertanya tentang agamanya apa, negaranya mana, sekolah di mana, korban musuh atau teman, dan sebagainya. Ia melakukan itu atas dasar kesadaran kemanusiaan, bukan yang lain.
Dengan empat model ukhuwah itulah NU menjadi mampu mengayomi masyarakat. Empat ukhuwah tersebut bukanlah berbentuk tingkatan, misalnya maqam ukhuwah basyariyah lebih tinggi daripada ukhuwah islamiyah. Tidak begitu. Ukhuwah-ukhuwah tersebut memiliki konteks masing-masing. Ukhuwah nahdliyah berlaku dalam.konteks Organisaai NU, Ukhuwah Islamiyah dalam konteks seagama Islam. Ukhuwah wathaniyah konteksnya adalah pada saat bernegara, sedangkan ukhuwah basyariyah konteksnya adalah berkaitan dengan kemanusiaan.
Dari adanya warna warni model ukhuwah ini, NU memiliki arena yang luas dalam jaminan untuk menegakkan keadilan. Jika benar-benar berpegang teguh pada empat ukhuwah ini, niscaya NU tidak akan terjebak dengan fanatisme buta. Setidaknya ini sudah terbukti dari berbagai contoh di atas.
Apabila dikaitkan dengan kasus besar antara kelompok muslim dan non-muslim seperti dikatakan di awal, maka kacamata yang lebih tepat digunakan adalah ukhuwah basyariyah. Akan tidak adil jika menggunakan ukhuwah Islamiyah, karena otomatis dengan ukhuwah ini jatuhnya fanatisme buta terhadap kelompok Islam dan selalu menyalahkan non-Islam.Bagaimanapun pembelaan harus kepada yang tidak bersalah, untuk itu sudut pandang basyariyah lah yang tepat bukan Islamiyah. Jika memang kelompok Islam salah harus diputus salah jika benar harus dibela. Jika pun kelompok Islam yang salah, tidak bisa begitu saja mengolok-olok dan membenci, dalam hal ini tetap berlaku ukhuwah Islamiyah. Pun ketika non-Islam yang bersalah, tidak bisa smena-mena memusuhinya, tetap saja mereka tersambung dengan ukhuwah basyariyah.
Pada intinya, prioritas dari berbagai bentuk ukhuwah ini tidak lain adalah perdamaian, disamping juga sebagai pembuka cakrawala keadilan yang lebih luas. Adapun yang menjadi dasar spirit adalah ketulusan cinta kepada sesama. Dari sini tiba-tiba muncul keyakinan dari penulis bahwa konsep-konsep ukhuwah itu tidak mungkin muncul kecuali dari sifat rahmat di benak orang yang menapaki realitas "nafsul muthmainnah". Mustahil kiranya jika konsep itu buah dari "nafsul amarah", yakni misalnya muncul dari pikiran orang-orang fanatik buta yang "gampang" marah dan menyalahkan pihak-pihak yang menurut pikiran sempitnya salah.
Sebagai pelajar NU sangat baik belajar prinsip ini. Setidaknya supaya tidak "kaget" ketika melihat Banser turut menjadi petugas keamanan Gereja. Biar tidak "nggumun" ketika ada Kiyai ceramah di tempat ibadah non muslim. Biar tidak protes ketika ada Kiyai, Ibu Nyai ataupun santri diundang buka bersama di tempat ibadah non muslim. Juga biar tidak "buruk sangka", ketika satu setengah tahun lalu ada warung bernama Top Santri, Kalidawir di datangi tamu dari saudara Hindu dan Kaum Penghayat untuk berdiskusi. Dengan mengetahui model-model ukhuwah, setidaknya bisa menempatkan apa yang kita lihat, dengar dan rasakan pada konteksnya. Ingat, tidak perlu baper.
Terahir, sebagai penutup tulisan ini, mari mencari berkah dari tokoh utama pencetus dan tauladan baik dari ukhuwah-ukhuwah tersebut, yakni KH. Ahmad Siddiq, dan KH. Abdurrahman Wahid, lahumal fatihah...
Wallahu a'lam..
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Bhineka Tunggal Ika,Democracy,Educations,Ideology,Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama,IPNU,Nahdlatul Ulama,NU,Pancasila,PC IPNU Tulungagung,PC Tulungagung,Pemuda,Pluralism,Politik,Toleransi,Ukhuwah