"Wrong Number" dalam Politik Praktis

"Wrong Number" dalam Politik Praktis

oleh:
(Ketua PAC IPNU Kecamantan Kalidawir Kab. Tulungagung)

Money Politik dalam Demokrasi Indonesia

Anggap saja saat ini kita sedang duduk bersama, sambil ngopi, kalau perlu sembari membuka "slepi", nglinting rokok. Bagi yang putri membuka, "klonthang" untuk nginang. Kita mencoba menjadi manusia Jawa di masa lalu; senang "jagongan", "gojegan", dan sesekali membahas perkara-perkara rumit supaya terurai kejelasannya, sehingga menemukan solusi bijak atasnya.
Topik politik sepertinya menarik untuk mengisi waktu luang ini. Ya, Meski kita bukan trah ksatria, biar saja. Negeri ini sudah demokrasi. Sudra pun bebas bicara. "Petruk" pun bisa jadi Ratu. Mari berfikir!, mumpung dilindungi hak asasi manusia.
Di tahun 90 an, di sekitar kita, peristiwa politik sering kali berbuntut pada perpecahan di masyarakat. Memang pada dasarnya dalam kultur Jawa, rasa "peseduluran" tinggi. Akan tetapi, entahlah faktanya sebab politik tiba-tiba hilang mood saling sapa, sebab berbeda pilihan politik saudara jadi musuh, bahkan sampai memecah kerukunan fanatis dalam beragama. Sering kan, mendengar istilah, "Saben Lurahe anyar, muncul langgar anyar." Nah, ini kan kalimat keren. Kesannya hiperbolis, tetapi memang pernah terjadi. Betapa ampuhnya pilihan politik, hingga mampu mementahkan pandangan batin "peseduluran". Sampai-sampai, dalam taraf tertentu melebihi peristiwa rebutan warisan.
Jika diukur dari kepentingan pragmatik, apa sih yang didapatkan masyarakat, sehingga harus repot-repot berpecah-belah? nyaris tidak ada untungnya. Justru pihak yang beruntung adalah calon yang menang dalam pertarungan politik itu. Ia sudah "nangkring" di posisinya, tinggal memetik buah-buah matang dari tangkringan itu. "Ah, jadi merasa dibodohin." Begitu lama-lama masyarakat merasa. Dan sekarang mereka sudah tidak begitu "srek" lagi dengan fanatisme berpolitik. Mereka berubah haluan menjadi prakmatik tingkat tinggi. Wujudnya tidak lain adalah ungkapan, "Sopo sing (menehi) duite akeh, yo kui sing dipilih". Tetap saja ngeri.
Segelintir fenomena politik praktis. Uang, pembunuhan, sabotase, fitnah, pencitraan, provokasi, adalah unsur-unsur yang menyelimuti. Banyak sejarah mencatat itu. Entah dalam konsep negara monarki, demokrasi, maupun khilafah yang begitu berani mengatasnamakan konsep negara Tuhan itu, sama saja. Kotor kah? memang iya. Apalagi dari sudut pandang agama, kotor sekali. Namun, betapapun begitu politik praktis adalah niscaya. Walaupun kesannya dekat sekali dengan yang kotor-kotor, bukan berarti orang baik harus anti politik. Semua ada konteksnya. Seperti ungkapan Pak Mahfud MD ketika membedakan peran antara politikus dan ilmuwan, "politikus boleh bohong tetapi tidak boleh salah, sedangkan ilmuwan boleh salah tetapi tidak boleh bohong".
Pernyataan Pak Mahfud MD, sangat masuk akal. Bagaimanapun politik adalah tempat bertemunya ambisi kekuasaan, baik pribadi maupun kelompok. Pertarungan nilai hitam, putih, maupun abu-abu ada di situ. Si hitam dalam berpolitik tentu tidak akan menggunakan cara putih. Bahkan Si Putih tidak mungkin menggunakan cara-cara lugunya sendiri. Kalau lugu, "lempeng-lempeng" saja, jujur-jujuran, ia pasti ditelikung sama kelicikan Hitam. Setidaknya ia menjadi abu-abu sedangkan tujuannya tetap putih. Jika ditanya, mengapa si putih jadi demikian? jawabnya mudah saja. Ambisi kekusaan ibarat seorang yang sedang dimabuk cinta. Ia akan selalu menampakkan citra baik kepada Si Doi. Ketika Doi bertanya, "Beb, sudah solat subuh belum?", ia akan menjawab, "Sudah Cin", meski sebenarnya baru bangun tidur pukul 06:30. Nah ini perbandingannya, orang mabuk cinta untuk memenangkan hati satu orang saja terjebak dalam kebohongan apalagi orang ingin mendapat kekuasaan dan menakhlukkan hati orang banyak? Bohong menjadi perkara yang maklum dalam politik. Dengan demikian seharusnya yang dilihat bukan kebohongannya, tetapi tujuannya.
Kelumit kelit dalam politik ini lah yang sering menggiring ora menjadi disorientatif, atau dalam bahasa telekomunikasinya "wrong number" (salah sambung). Antara prilaku atau usaha dan tujuan luhur tidak sambung.
Perpecahan yang terjadi di masyarakat sebagaimana diungkapkan di awal tadi, yakin, bukan kok karena semata-mata beda pilihan.Tetapi karena ada "embel-embel" dari perbedaan pilihan itu. Saat musim kampanye sampai pemilihan, di situ pasti ada ketegangan, wujudnya berupa fitnah, isu, syu'udzan, dan kecurangan, untuk mengalahkan lawan. !Embel-embel" ini lah yang sebenarnya membawa buntut panjang dalam kesruh politik. Sehingga nantinya muncul kelompok oposisi yang berlebihan. Dalam arti kritik yang diluncurkan bukan demi kemajuan bersama, tetapi untuk menumbangkan kekuasaan. Wujudnya biasanya seperti adanya penggembosan, penjigalan, fitnah berkelanjutan, kudeta dan sebagainya. Inilah oposisi yang "wrong number",
Disamping itu, bagi kelompok penguasa, sering kali terlalu asik melenggang di atas. Mereka berusaha sekuat mungkin melanggengkan posisinya dan lupa tujuan luhur bersama. Sehingga setiap kerjanya cuma mengarah pada pembangunan citra. Ini tentu juga "wrong number", yang tidak kalah berbahaya. Terlebih bila penguasa bertangan besi. Siapa tidak taat pasti disikat, maka disembelihlah kebebasan dan hak-hak kemanusiaan.
"Wrong number" juga terjadi pada orang yang tidak memahami perbedaan mana konteks politik, mana bukan. Seorang politikus kadang juga "ngawur", semua hal dipolitisir: teman dipolitisir, ormas dipolitisir, sekolah, jama'ah tahlil, ayat-ayat suci, bahkan Tuhan pun dipolitisir. Semua demi menggapai ambisi politiknya. Ketika menjadi oposisi, ia menebarkan kebencian juga memusuhi semua pihak yang berkoalisi. Kalau perlu bentroklah sekalian.
Padahal semestinya tidak begitu. Oposisi biarlah terjadi dalam politik saja, selain itu hubungan akrab persaudaraan dan pertemanan tetap dipertahankan. Dalam hal ini, lagi-lagi harus memunculkan Gus Dur, untuk menggambarkan teladan yang tepat (maklum lah, yang nulis kurang bacaan, taunya hanya Gus Dur). Semasa hidupnya, Gus Dur adalah seorang pengkritik rezim Orde Baru yang sangat vokal Beliau selalu memposisikan diri sebagai oposan dari Presiden Soeharto. Akan tetapi, sebagaimana dinyatakan oleh Gus Dur sendiri di salah satu acara televisi suwasta bahwa beliau masih sering bersilaturahmi ke kediaman Soeharto, untuk menjalin persaudaraan. Bahkan beliau pun menganggap kabar adanya usaha pembunuhan yang direncanakan oleh Soeharto terhadap dirinya, hanya menyangkut perkara politik saja bukan perkara pribadi, sehingga tidak perlu membenci pribadi Soeharto. Disamping itu, Gus Dur juga menjelaskan bahwa terkait pilihan politik tidak usah disikapi secara kekanak-kanakan. Di zaman SBY, Gus Dur banyak mengkritik pemerintah, dan dalam waktu bersamaan salah satu dari putrinya justru sedang dekat dengan penguasa. Melihat hal itu, Gus Dur tidak ada masalah, tidak pula memarahi ataupun memusuhi putrinya tersebut. Beliau memberikan hak menentukan pilihan politik pada anaknya sendiri seluas-luasnya. Oposisi bisa terjadi dalam hal politik, tetapi dalam berkeluarga anak tetaplah disayangi sebagaimana mestinya. Dari sini dapat dibayangkan, andai saja setiap orang di Indonesia memiliki kedewasaan berpolitik seperti Gus Dur, maka tentu demokrasi akan berjalan dengan lebih sehat.
Wallahu a'lam.
Untuk itu, dalam memahami politik, perlu sekali menggunakan jurus "eling lan waspadha" supaya tidak terjerumus pada "wrong number". "Eling" kepada tujuan dan waspadha kepada siasat-siasat. Kita sebagai pelajar NU, ada baiknya belajar kepada para pendahulu NU yang sangat bijak dalam berpolitik. NU sendiri sebagai organisasi keagamaan sudah banyak berpengalaman dalam mengawal pemerintah. Dengan prinsip politik kebangsaannya NU mampu menjadi penyeimbang sekaligus pengontrol kerja pemerintah yang keterlaluan atau pun kurang baik. NU kapansaja bisa menjadi pengkritik dan dilain waktu bisa menjadi pembela pemerintah. Semua tergantung pada kebijakan pemerintah apakah itu adil serta maslahat atau tidak. Dapat dibayangkan juga, andai di negeri ini hanya ada kubu koalisi dan oposisi saja, tidak ada kekuatan semisal NU dan Muhamadiyah yang menengahinya, pastilah kisruh politik sering terjadi dan lebih mengerikan lagi.
Mungkin yang ditakutkan adalah, jika NU sendiri pecah. Bagaimanapun NU dari segi struktural memiliki dimensi politik tersendiri. Apabila dimensi politik ini, praktiknya sama dengan para politikus praktis yang "wrong number" itu, maka "ngalamat" muncul perpecahan. Namun syukurlah, gaya politik struktural NU masih diusahakan seperti yang diajarkan sesepuh terdahulu: menjunjung akhlakul karimah, toleransi dan tanggung jawab dunia-akhirat.Memang ada kerikil-kerikil kecil, tetapi itu wajar bagi dinamika organisasi.
Demikian pula dengan organisasi kita. IPNU dan IPPNU sebentar lagi melaksanakan hajat konferensi tingkat Pimpinan Cabang. Ini momen penting bagi kita semua, termasuk PAC Kalidawir untuk merumuskan IPNU dan IPPNU Tulungagung kedepan lebih baik. Seperti biasa, ujung dari konferensi adalah pemilihan ketua umum. Untuk itu, sebagai anggota IPNU-IPPNU PAC Kalidawir yang masih dibawah naungan PC IPNU-IPPNU Tulungagung, memiliki kewajiban berpartisipasi dalam acara tersebut. Baik dari unsur ranting maupun PAC, mulai sekarang bisa mempersiapkan diri agar bisa "urun rembug" dan bersuara di acara itu. Demi proses belajar kita dalam berorganisasi dan kebaikan IPNU-IPPNU Tulungagung ke depan.
Tidak kalah penting lagi, do'a juga selalu diperlukan: semoga kegiatan pesta demokrasi serta "politik kecil-kecilan" itu berjalan dengan lancar. Semoga dalam prosesnya yang kelit kelumit juga tidak membawa tujuan jatuh pada "wrong number",tetap "eling lan waspadha", berjalan dengan damai, manfaat serta maslahat. Aamiin... Aamiin..

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url
Related Post
Democracy,Ideology,Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama,IPNU,KoferCab,PC IPNU Tulungagung,PC Tulungagung,Pemilu,Pemuda,Politik