kepemilikan Sim-C



Kesadaran Hukum Bagi Pengendara Motor
(Tentang Kepemilikan Sim)


PRODI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2021-2021

Latar Belakang.
Pada kesempatan kelompok kami melakukan mini riset pada pengemudi sepeda motor dalam mematuhi peraturan perundangan-undangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, yaitu di fokuskan kepada syarat-syarat dalam mengendarai sepeda motor, yaitu yang tercantum dalam pasal 77                                               
1.       Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib memiliki Surat Izin Mengemudi sesuai dengan jenis Kendaraan Bermotor yang dikemudikan.
2.        Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 2 (dua) jenis:
a.      Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor perseorangan; dan
b.      Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum.
3.        Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.
4.       Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor Umum, calon Pengemudi wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan Pengemudi angkutan umum.
5.       Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya diikuti oleh orang yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi untuk Kendaraan Bermotor perseorangan .
Dalam mini riset kami fokuskan kepada pengendara sepeda motornya, yang melintasi kawasan tertib lalu lintas di kawasan jl. Solo dari sekitar per-empatan janti sampai per-empatan di UIN Sunan Kalijaga, dengan konsep riset dengan membagikan kepengendara motor dan wanwancara secara langsung kepada pihak terkait.
Dalam riset ini konsep penulisan dan laporan singkat ini kami sekelompok menggunakan pendekatan dari teori M.C friedmen yaitu dengan unsur-unsur yang terbagi menjadi tiga unsure yaitu: a. stuktur b. subtansi atau aturan c. budaya hokum.
Tetapi dalam kajian ini lebih dititik tekankan kepada budaya hokum dari masyarakatnya, dari riset mini kami berharap kita semua menjadi awal perubahan dari budaya hokum suatu masyarakat.
Dengan konsep membahasan demikian:
Judul                 :Kesadaran Hukum Bagi Pengendara Motor (Tentang Kepemilikan Sim)
Bab I               : Pemahaman Budaya Hukum.
Bab II              : Pengalian Nilai Kesadaran Hukum ( Tentang Kepemilikan Sim)
Bab III                          : Akibat Delik Pelanggaran Kepemilikan Sim.
Bab IV              :Kebijakan Pembaharuan budaya hokum (tentang pemahaman Kepemilikan Sim)

Pembahasan.
Bab I               : Pemahaman Budaya Hukum.
            budaya adalah adalah hal yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat, dan terus menerus menjadi suatu hal kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat. Penulis berpendapat bahwa dalam budaya hokum masyarakat Indonesia akan lahir dengan baik yaitu berkaitan dengan latar belakang dari kehidupan dan lingkungannya, tetapi hal ini di dukung dengan pengetahuan umum dan kesadaraan dari pribadi.
Berkaitan dengan budaya hokum tentang pengendara sepeda motor untuk memiliki SIM(surat izin mengemudi), penulis berpendapat masih banyak dari 20 orang sampel para pengendara yang yang menunjukan budaya hokum yang baik hanya 5 orang. Ini ditunjukan dengan banyak dari 15 orang tersebut bisa mengendarai sepeda motor[1]sejak Sekolah Dasar (SD) maupun sekolah menengah pertama (SMP), dan masih dibawah umur yang seharusnya. Ini menunjukan dari awal mereka mengendarai motor tidak punya SIM dan hal ini pastinya didukung oleh orang tuanya dan pihak lain-lain untuk belajar motor padahal hal ini bertentangan dengan yang seharusnya.  Yang mengherankan dari semua responden menyatakan bahwa SIM itu penting, tetapi ini yang menjadi pertanyaan besar mengapa budaya seperti ini masih ada, atau ada apa dengan budaya hokum kita? Dan juga Yang
menjadi kita prihatin masih ada yang sudah mengendara motor kemana saja dan sudah memasuki usia dewasa tidak mempunyai SIM, pada disatu sisi dia mahasiswi ilmu hokum fak. Syari’ah dan hukum( UIN sunan kalijaga yogyakarta ). Ini kuga menjadi pertanyaan besar sejauh mana orientasi pendidikan hokum di Negara ini, apa hanya orientasi profesi sebagai mencari uang dan mencari keuntungan ( dunia pendidikan dan masiswanya). Penanamam budaya hokum untuk pembaharuan hokum nasional seharusnya dilakukan juga oleh pendidikan Hukum.
Ini menunjukan bahwa budaya hokum bangsa ini masih kurang dan perlu pemahaman yang mendasar dengan adanya suatu kesadaran dari pihak-pihak terkait untuk mengawasi dari para pengendara, dan peran serta orang tua untuk mengizinkan putra dan putrinya ketika memang sudah bisa mengendarai motor bila mempunyai SIM dan umur mereka sudah sewajarnya sebagai pengendara motor, berdasarkan ketentuan yang berlaku.[2]
Bab II             : Pengalian Nilai Kesadaran Hukum ( Tentang Kepemilikan Sim).
            Dalam pencapaian menuju Negara hokum yang bisa menetibkan dan menjaga ketertiban masyarakat. Di butuhkan pengalian nilai dan penanaman nilai. Ini adalah proses menuju Negara hokum yang ideal. Dalam ilmu filsafat hokum untuk menuju keadilan diperlukan nilai-nilai. Karena nilai hirarkinya berada di atas keadilan.[3]
Keinginan dan nusaha untuk melakukan pengalian hokum tidak tertulis (baik bersumber dari agama dari hokum tradisioanal/adat) sudah cukup banyak dan cukup lama dikemukan di Indonesia. Hal ini banyak dikemukan dalam tulisan-tulisan atau pendapat para ahli /sarrjana, pejabat, wakil wakil rakyat maupun terlihat dari hasil-hasil penelitian dan pertemuan ilmiah. Keinginan dan peryataan-peryataan perlunya digali norma hokum agama dan hokum tradisional, menunujukan kesadaran perlunya digali hokum tradisional, menunujukan kesadaran perlunya di gali hokum yang bersumber dan berakar pada nilai-nilai budaya , moral, keagamaan. Kesadaran akan perlunya menggali dan memanfaatklan norma-norma hokum yang bersumber pada nilai-nilai budaya dan moral keagamaan di lain pihak berarti menunjukan kecenderungan adanya ketidakpuasan, keprihatinan, dan krisis kepercayaan pada sisitem hokum dan kebijakan hokum yang selama ada. Kecenderungan demikian, tampaknya juga menjadi kecenderungan dan keprihatinan kongres-kongres internasional di bidang hokum pidana dan krimonologi.[4]
Pengalian nilai dari masyarakat diperlukan mengapa mereka masih melanggar pelanggaran tersebut sejak kecil maupun saat ini belum mempunyai SIM, hal ini terjadi tak lepas perkembangan zaman dan budaya asing masuk ke Indonesia dengan pesatnya perkembangan zaman.Yaitu salah satunya karena anak sejak kecil sudah terdokri dengan adanya jajahan dari dunia luar, yaitu dengan munculnya budaya “hari ini tidak bisa naik motor jadul lo” teori ini sudah meracuni anak muda di bawah umur bangsa ini. Hal ini terjadi tidak lepas adanya juga trasportasi yang tidak baik di suatu kawasan atau wilayah, oleh sebab itu mereka lebih memilih naik motor meskipun tidak punya SIM. Dan nilai-nilai yang ada di masyarakat sekarang mulai tidak lagi muncul, maksudnya nilai leluhur yang ada dalam masyarakat mulai hilang di telan bumi.Hal ini ditunjukan kebiasaan positif seperti berjalan  kaki kewarung depan, tetapi karena dimanjakan dengan motor sekarang orang tua banyak naik motor meskipun jarak sekitar 50 meter, lebih prihatinya biasanya anak-anak mereka yang dibawah umur mengendaraihnya. Hal demikian juga terjadi di kalangan anak-anak smp di daerah-daerah sudah naik motor sendiri kesekolah padahal hal ini tidak seharusnya.
Dalam tafsiran penulis, mereka yang dibawah umur seharusnya tidak boleh dibiasakan. Karena saya pandang anak di bawah umur tersebut belum paham dengan rambu-rambu lalu lintas.
Bab III            : Akibat Delik Pelanggaran (tidak mempunyai Kepemilikan Sim).
Pada dasarnya peraturan ini lahir dengan maksud agar bisa menertibabkan lalu lintas. Untuk suatu kepastian legalitas hukum (Pasal 86
(1) Surat Izin Mengemudi berfungsi sebagai bukti kompetensi mengemudi.) dibuatkan SIM ini bertanda masyarakat yang mempunyai sim si anggap bisa mengedalai motor, karena sebelum pembuataan SIM ada tes-tes dan ketentuan yang harus di taati dengan baik.[5]
Dengan demikian setiap warga yang mempunyai SIM diharapkan sudah bisa dan tertib berlalu lintas, karena di analogikan mereka punya SIM sudah lulus ujian dan bisa di pastikan bisa mengedarai motor dengan baik.
Pada hal ini pengedara motor melanggarnya, dalam artian tidak mempunyai SIM berarti hal ini kemungkinan besar mereka tidak bisa dengan baik mengendarai motor, dan akan mengakibat tidak tertibnya lalu lintas dan bisa menimbulkan kecelaakan kepada dirinya sediri maupun dijalan raya yang berdampak kepada orang lain.
Padahal dalam ada kentuan pidana kurunganatau denda jika melanggar ketertiban lalu lintas dengan tidak mempunyai SIM, seperti yang tercantum dibelakang SIM yaitu :
1.      Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor dijalan yang tidak memiliki surat izin ijin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat 1 di pidana kurungan paling lama 4 ( empat )bulan atau      denda paling banyak Rp 1.000.00o ( satu juta rupiah) pasal 281 UU N0.22 Tahun 2021.
2.      Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor dijalan yang tidak dapat menunjukan surat izin mengemudi yang sah kendaran bermotor yang dikemudiakan sebagai dimaksud pasal 106 ayat 5 huruf (b) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 250.000 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah) (pasal 228 ayat 22 tahun 2021)
3.      Selain pidana penjara, kurungan atau denda, pelaku tindak pidana alau lintas dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa percobaan surat ijin mengemudi atau ganti kerungian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas ( pasal 314 UU No. 22 tahun 2021)
Bab IV            :Kebijakan Pembaharuan budaya hokum (tentang pemahaman  kepemilikan Sim)
Pada pembahasan topik kebijakan pembaharuan budaya hukum ini berkaitan dengan dan difokuskan dengan arah pembagunan budaya hokum dengan lahirnya UU No. 22 tahun 2021. Tapi pada pembahsan ini lebih di fokuskan kepada  Setiap orang yang mengemudi kendaraan bermotor dijalan yang tidak memiliki surat izin ijin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat 1 di pidana kurungan paling lama 4 ( empat )bulan ataudenda paling banyak Rp 1.000.000 ( satu juta rupiah) pasal 281 UU N0.22 Tahun 2021.Maksud dari pembahsan ini dititik beratkan kepada pelaksaan di lapangan bagaimana masyarakat melaksanakan dan mematuhi dari isi bunyi pasal diatas( budaya Hukum).
            Pekembangan dan pembaharuan hokum nasional lebih bijaksananya lagi tidak hanya melihat dari sudut pandang budaya hokum saja.Lebih alangkah eloknya dengan memperhatikan unsur-unsur hukum yang lainnya seperti yang dikemukankan oleh C. friedmen, yaitu unsure hukum di bagi menjadi tiga bagian a. stuktur b. subtansi c. budaya hokum.Dari pembahasan tentang pembaharuan hokum nasional berkaitan dengan bagi pengendara sepeda motor, khusus dengan menitik tekankan kepada kepemilikan SIM.
Dari mini riset ini penulis mencoba memberikan teori kritis terhadap tiga unsur hokum di atas yang berkaitan dengan kepemilikan SIM yang di atur pada pasal 77 ayat 1 UU No. 22 tahun 2021.
a.       struktur.
Dalam dinamika lahirnya UU No.22 tahun 2021, adalah proses pembentukan legislatif di masanya pada waktu itu. Ini perlu kita pahami bersama-sama undang-undang yang lahir di Negara ini tidak lepas dari konfigurasi politik yang ada.
Undang undang No. 22 tahun 2021.Menurut pendapat penulis sudah bagus dalam isi dan subtansinya, demi menuju Negara hukum.Tapi bukan kita anggap persolaan stuktur kita secara personal sudah baik, di stuktur penegakan hokum itu sendiri.Berkaitan dengan kepemilikan SIM, berkaitan dengan stuktur pelaksaananya di kepolisian dalam pelaksanakan fungsinya menjalankan lahirnya suatu undang-undang yang ada.
Dilihat dari mini riset responden tidak memiliki SIM karena dengan alas an biaya yang teerlalu mahal. Ini pertayaan besar untuk stuktur hokum bisa menyelesaikan permasalah ini.Karena pada dasarnya ini berkitan dengan kbijakan dari stukturnya. Di satu sisi yang lain pengalaman pribadi dalam pembuatan SIM biasanya sering terjadi calon, mereka tidak usah mengikuti tes tetapi bisa memiliki SIM. Ini menjadi factor mengapa samapi saat ini tidak atau kurang kepercayaan masyarakat kepada stukutur hokum saat ini.
Dan berkaitan dengan mengapa mereka melanggar aturan tersebut, dan banyak usia dini yang sudah naik sepeda motor, ini juga bisa berkaitan dengan pelayanan trasportasi public yang belum baik.
b.      Subtansi
Aturan Hukum ini berkaitan dengan masalah dengan isi dari Undang-undang yang ada, tetapi pada undang-undang ini saya rasa sudah baik. Tetapi dari responden ada yang berpendapat bahwa tentang umur kepemilikan SIM bisa di turunkan menjadi 15 tahun, hal ini berkitan dengan bahwa mereka di usia dini sudah bisa mengedarai motor. Dalam kajian ini penulis berpendapat agar dari aturan ini harus lebih respontif dari berkembangan masyarakat. Apalagi kita ketahui pada zaman modern ini sulit untuk menjdapatkan trasportasi yang aman, layak, nyaman dan lain-lain/
c.       Budaya
Penulis akan memberikan beberapa rekomendasi terkait dengan budaya hokum, dan atau pelaksaan yang ideal. Untuk dapat menjaga kenyamanan pengendara motor dan lingkungan sekitarnya yaitu.
1.      Agar stuktur hokum lebih selektif dan professional dalam pembuatan SIM sesuai dengan aturan yang berlaku dan kondisi subjek yang berkaitan.
2.      Masyarakat harus mentaati hokum yang belku pada dasarnya, hokum dibentuk untuk menertibkan lalu lintas. Karena dengan adanya SIM bisa menganalogika pengendara sudah bisa professional dalam mengedara.
3.      Pihak dari kepolisian bisa lebih disiplin dan progresif dalam pelaksaanan dilapangan terkait dengan pelanggaran lalu lintas.





[1]Pasal 78
(1) Pendidikan dan pelatihan mengemudi diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari Pemerintah.
(2) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Izin penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan mengemudi yang diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan criteria yang ditetapkan oleh Menteri yang membidangi sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan Pasal 79
(1) Setiap calon Pengemudi pada saat belajar mengemudi atau mengikuti ujian praktik mengemudi di Jalan wajib didampingi instruktur atau penguji.
(2) Instruktur atau penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pelanggaran dan /atau Kecelakaan Lalu Lintas yang terjadi saat calon Pengemudi belajar atau menjalani ujian.
[2]Pasal 81
(1) Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, setiap orang harus memenuhi persyaratan usia, administratif, kesehatan, dan lulus ujian.
(2) Syarat usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan paling rendah sebagai berikut:
a. usia 17 (tujuh belas) tahun untuk Surat Izin Mengemudi A, Surat Izin Mengemudi C, dan Surat Izin D,
[3] Disampaikan pada mata kuliah pidana khusus, oleh sulistriyono pada pertemuan tanggal 10 november 2021.
[4] Barda Nawawi, kebijakan hukum pidana ( perkembangan penyusunan konsep KUHP Baru), ( semarang, bunga rampai,2021)hal. 322
[5]Pasal 86 uu no 22 tahun 2021 Syarat lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ujian teori;
b. ujian praktik; dan/atau
c. ujian keterampilan melalui simulator.
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), setiap
Pengemudi Kendaraan Bermotor yang akan mengajukan permohonan
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url